Badu tertawa keras lagi, kali ini sampai kursinya berderit. "Hahaha! Jadi, kalau kita lihat mereka senyum-senyum di panggung politik, itu sebenarnya bukan karena bahagia buat rakyat. Itu karena mereka udah ngerasa aman dengan keuntungan yang bakal mereka dapat!"
Kahar, dengan gaya khas analis politiknya, kembali menambahkan. "Iya, lihat aja. Setelah pemilu, yang mereka urus pertama kali bukan rakyat, tapi proyek-proyek besar yang bisa jadi mesin uang untuk kelompoknya. Semua proyek pemerintah, pembangunan infrastruktur, sampai BUMN, diatur sedemikian rupa supaya semuanya bisa dapet jatah."
Rijal menghela napas panjang. "Tapi bukankah ada pengawasan? KPK, BPK, dan lembaga-lembaga lainnya? Apa mereka nggak bisa mengontrol semua bagi-bagi ini?"
Kobar menyeringai. "Ah, Rijal. Kamu tahu sendiri kan, kalau udah di atas sana, kontrol itu sifatnya fleksibel. Selama ada kesepakatan, semuanya bisa berjalan lancar. Mereka juga punya cara buat mengaburkan jejak. Yang penting, semua yang duduk di meja koalisi sama-sama kenyang."
Badu menepuk bahu Rijal sambil tertawa. "Rijal ini masih terlalu polos, Bor. Dia kira politik itu masih soal idealisme dan moralitas. Padahal, sekarang koalisi lebih mirip kartel. Setiap anggota koalisi punya jatah masing-masing, dan mereka harus saling jaga biar semuanya tetap aman."
Kahar, yang tampak puas dengan arah obrolan, menambahkan lagi. "Iya. Dan yang paling lucu, mereka semua berlindung di balik kata-kata 'untuk kepentingan rakyat'. Padahal, kalau dilihat dari hasil kebijakan, yang untung ya mereka sendiri, yang buntung ya rakyat."
Kobar tertawa kecil dan menyesap kopinya. "Mungkin yang paling pas sekarang ini slogan politiknya jadi: 'Koalisi untuk Berbagi Untung, Rakyat untuk Bagi-Bagi Sabar'."
Badu langsung meledak tertawa, sampai cangkir kopinya hampir tumpah. "Hahaha! Cocok banget, Bor! Rakyat disuruh sabar terus, sementara mereka sibuk ngitung untung di balik layar."
Rijal yang tadinya terdiam mulai tersenyum tipis, meski masih tampak kecewa. "Jadi begitu ya, yang kita lihat di panggung politik itu cuma wayang. Dalangnya? Ya, mereka yang di belakang layar, ngatur siapa dapet untung berapa."
Kahar mengangguk dengan wajah serius. "Tepat. Wayangnya di depan bicara soal visi-misi, janji-janji manis buat rakyat. Tapi di belakang, dalangnya udah bagi-bagi keuntungan dengan mulus. Yang penting semua senang, kecuali... kita, rakyat biasa."
Kobar menepuk meja dengan gaya dramatis, seperti seorang tokoh politik di pidato puncaknya. "Inilah politik kita! Koalisi demi kemakmuran... mereka sendiri. Bagi-bagi proyek, bagi-bagi jabatan, dan yang terakhir: bagi-bagi kesabaran buat rakyat."