Kahar mengangkat alis. "Dan yang paling seru, tiap kali ada bagi-bagi kursi, dramanya nggak pernah absen. Ada yang ngambek karena jatahnya kurang, ada yang merasa dikhianati karena nggak dapat posisi penting, dan ada juga yang tiba-tiba keluar dari partai karena merasa 'tidak dihargai.'"
Kobar terkekeh. "Benar-benar mirip drama sinetron, ya? Bedanya, sinetron ini tayangnya di gedung-gedung mewah, di balik pintu tertutup. Kita, rakyat jelata, cuma bisa nonton dari luar, sambil ngira-ngira siapa yang bakal dapet peran utama."
Badu, sambil mengangkat cangkir kopinya, berkata dengan suara keras. "Dan jangan lupa, Bor, ada juga yang tiba-tiba pindah partai karena nggak kebagian kursi di partai lama! Ibarat pindah sekolah karena nggak dapet jabatan ketua OSIS, hahaha!"
Rijal, yang masih terlihat berusaha mencerna situasi, bertanya dengan nada penasaran. "Jadi, gimana dengan janji-janji mereka? Mereka kan selalu bilang akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Apa itu cuma omong kosong belaka?"
Kahar menepuk pundak Rijal dengan senyuman pahit. "Itu bukan omong kosong, Rijal. Mereka memang memperjuangkan kepentingan rakyat---rakyat mereka sendiri. Rakyat yang duduk di meja-meja rapat, rakyat yang punya kepentingan bisnis, rakyat yang ada di balik layar."
Kobar menghela napas panjang. "Iya, rakyat yang mereka maksud bukan kita yang duduk di warung kopi sambil ngeluh soal harga sembako. Rakyat mereka itu orang-orang yang punya kepentingan besar di balik pembagian kursi ini. Rakyat kita? Ya, kita cuma penonton."
Badu, yang sepertinya merasa percakapan mulai terlalu serius, mencoba mengangkat suasana dengan candaan. "Kalau kita mau dapat kursi, gimana? Mungkin kita harus daftar jadi kader partai dulu, mulai ikut kampanye, bawa-bawa spanduk, nanti kalau beruntung bisa dapat kursi juga, hahaha!"
Kahar tertawa kecil, lalu menjawab, "Iya, kursi plastik di pojok ruangan mungkin! Kalau mau kursi empuk, harus punya modal besar dan hubungan erat dengan elite."
Kobar tertawa getir. "Benar juga. Kursi buat kita paling cuma kursi lipat di acara-acara partai. Sementara mereka yang udah duduk di atas, bisa santai di kursi empuk sambil menikmati hasil pembagian yang adil versi mereka."
Rijal menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Jadi begini, ya? Kursi-kursi yang dibagi itu sebenarnya bukan soal siapa yang layak, tapi soal siapa yang paling menguntungkan. Dan kita, rakyat, cuma jadi penonton setia."
Kahar mengangkat cangkir kopinya, mengajak semua teman-temannya bersulang. "Ya, begitulah politik, Rijal. Yang penting kita tetap kritis, tetap sadar, dan nggak termakan drama. Biar mereka bagi-bagi kursi, kita di sini cukup bagi-bagi cerita."