kopi, langit mendung menggantung seolah menggambarkan suasana hati Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Kopi hitam sudah tersaji, dan seperti biasa, topik panas politik menjadi bahan obrolan mereka. Hari ini, topiknya adalah wakil rakyat. Tapi, bukan wakil rakyat biasa. Mereka bertanya-tanya: wakil rakyat yang mana?
Sore itu di warungKobar, yang terkenal sebagai si tukang kritik, langsung membuka percakapan. "Eh, kalian sadar nggak, di TV tiap kali ada berita tentang rapat DPR, isinya kursi kosong? Ini mereka tuh wakil rakyat yang mana? Rakyat kantor atau rakyat dunia maya?"
Badu, dengan mulut penuh gorengan, tertawa sampai hampir tersedak. "Hahaha! Wakil rakyat yang rapatnya lebih sering di grup WhatsApp kali, Bor. Ngumpul kalau ada event penting, kayak pemotongan pita, syuting video pencitraan, atau kunjungan kerja ke luar negeri."
Kahar, si analis politik amatir, menghela napas panjang. "Kalau di luar negeri sih, kunjungan kerjanya jadi alasan buat liburan. Gimana nggak, mereka ke Eropa, ke Amerika, foto-foto di landmark, tapi kalau ditanya hasil rapatnya apa, jawabnya 'masih dibahas'."
Rijal, yang biasanya lebih kalem, kali ini ikut menimpali. "Mereka ini seharusnya mewakili kita, kan? Tapi kok ya tiap kali ada permasalahan, nggak pernah muncul. Waktu harga BBM naik, mereka diem aja. Pas rakyat demo, mereka lagi sibuk seminar tentang ekonomi global."
Kobar menepuk meja, membuat cangkir kopi di depannya bergetar. "Iya, itu dia! Pas ada yang susah, mereka nggak kelihatan. Tapi coba pas mau reses? Datang semua ke kampung, bagi-bagi sembako, ngasih pidato penuh janji, bikin spanduk besar dengan senyuman lebar. Lha, setelah itu? Hilang lagi."
Badu ikut menimpali dengan ekspresi serius, meski mulutnya masih penuh gorengan. "Wakil rakyat yang wakil-wakilan. Mereka tuh lebih sering jadi wakil pribadi, bukan wakil rakyat. Ngurus bisnis sendiri, bikin proyek pribadi, padahal yang bayar gaji mereka siapa? Kita!"
Kahar menyesap kopi hitamnya sebelum berbicara. "Benar, Bad. Gaji mereka gede, fasilitas mewah. Mobil dinas, rumah dinas, semua serba dinas. Tapi apa yang mereka lakuin buat rakyat? Rakyat malah dinasihatin buat 'hemat', 'sabar', 'pahami kondisi negara'. Giliran mereka yang boros, siapa yang nasihatin?"
Kobar mengangguk keras. "Betul banget! Wakil rakyat ini lebih sibuk mikirin diri sendiri daripada nasib rakyat. Udah kayak selebriti, tiap hari sibuk pencitraan. Lihat aja, tiap kali ada acara besar, mereka muncul dengan jas baru, senyum manis. Tapi di balik layar, sibuk nyari peluang bisnis!"
Rijal yang biasanya berusaha untuk berpikir positif, kali ini tampak frustasi. "Tapi kan, ada juga wakil rakyat yang baik. Yang benar-benar turun ke lapangan, mendengar keluhan rakyat, dan bekerja keras buat kita."
Badu langsung menyambar. "Yang kayak gitu mungkin ada, Rijal, tapi jumlahnya bisa dihitung pake jari! Sisanya? Sibuk rapat tertutup, sibuk ngatur proyek, dan paling rajin saat waktu pemilu udah dekat."
Kahar tersenyum sinis. "Iya, itu dia. Pemilu jadi momentum besar buat mereka. Seolah-olah selama lima tahun menghilang, tiba-tiba muncul dengan janji baru. Padahal isinya sama, cuma kemasannya yang diubah sedikit biar kelihatan fresh."
Kobar tertawa pahit. "Janji lima tahun lalu belum selesai, udah janji lagi buat lima tahun ke depan. Rakyat disuruh nunggu terus kayak ngantri sembako. Masalahnya, janji itu nggak pernah ditepati. Setelah menang, yang diurus cuma bagi-bagi kursi!"
Badu, yang mulai kehabisan gorengan, menambahkan dengan suara berat. "Makanya, rakyat sekarang mulai bingung. Wakil rakyat yang mana sih yang benar-benar mewakili kita? Soalnya, yang kita lihat cuma wakil yang mewakili kepentingan partai atau kantong pribadi mereka sendiri."
Rijal yang terlihat semakin diam hanya bisa menghela napas. "Jadi gimana? Apa kita harus terus pasrah dengan wakil-wakil yang begitu?"
Kobar tersenyum tipis, kali ini tanpa nada sinis. "Ya, kita nggak bisa cuma pasrah, Rijal. Kita harus terus kritis, terus suarakan apa yang benar. Mungkin di antara mereka ada yang baik, tapi kita harus tetap ingatkan mereka. Kalau nggak, mereka bakal lupa siapa yang seharusnya mereka wakili."
Kahar mengangguk setuju. "Betul. Mereka memang wakil rakyat, tapi kadang-kadang mereka perlu diingatkan siapa 'rakyat' yang sebenarnya. Bukan elite, bukan pengusaha, tapi kita---orang-orang biasa yang kerja keras buat sesuap nasi."
Badu mengangkat cangkir kopinya dan tertawa kecil. "Iya, kita rakyat biasa yang cuma bisa ngeluh di warung kopi. Tapi jangan salah, dari warung kopi juga bisa keluar kritik paling pedas!"
Mereka semua tertawa, meskipun di balik tawa itu terselip rasa pahit---lebih pahit dari kopi yang mereka seruput. Di tengah situasi politik yang terus berputar, mereka hanya bisa berharap suatu hari akan ada wakil rakyat yang benar-benar mewakili. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa duduk di warung kopi, mengkritik, dan berharap sambil menatap kursi-kursi kosong di gedung dewan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H