Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wakil Rakyat yang Mana?

20 Oktober 2024   22:43 Diperbarui: 21 Oktober 2024   01:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kahar tersenyum sinis. "Iya, itu dia. Pemilu jadi momentum besar buat mereka. Seolah-olah selama lima tahun menghilang, tiba-tiba muncul dengan janji baru. Padahal isinya sama, cuma kemasannya yang diubah sedikit biar kelihatan fresh."

Kobar tertawa pahit. "Janji lima tahun lalu belum selesai, udah janji lagi buat lima tahun ke depan. Rakyat disuruh nunggu terus kayak ngantri sembako. Masalahnya, janji itu nggak pernah ditepati. Setelah menang, yang diurus cuma bagi-bagi kursi!"

Badu, yang mulai kehabisan gorengan, menambahkan dengan suara berat. "Makanya, rakyat sekarang mulai bingung. Wakil rakyat yang mana sih yang benar-benar mewakili kita? Soalnya, yang kita lihat cuma wakil yang mewakili kepentingan partai atau kantong pribadi mereka sendiri."

Rijal yang terlihat semakin diam hanya bisa menghela napas. "Jadi gimana? Apa kita harus terus pasrah dengan wakil-wakil yang begitu?"

Kobar tersenyum tipis, kali ini tanpa nada sinis. "Ya, kita nggak bisa cuma pasrah, Rijal. Kita harus terus kritis, terus suarakan apa yang benar. Mungkin di antara mereka ada yang baik, tapi kita harus tetap ingatkan mereka. Kalau nggak, mereka bakal lupa siapa yang seharusnya mereka wakili."

Kahar mengangguk setuju. "Betul. Mereka memang wakil rakyat, tapi kadang-kadang mereka perlu diingatkan siapa 'rakyat' yang sebenarnya. Bukan elite, bukan pengusaha, tapi kita---orang-orang biasa yang kerja keras buat sesuap nasi."

Badu mengangkat cangkir kopinya dan tertawa kecil. "Iya, kita rakyat biasa yang cuma bisa ngeluh di warung kopi. Tapi jangan salah, dari warung kopi juga bisa keluar kritik paling pedas!"

Mereka semua tertawa, meskipun di balik tawa itu terselip rasa pahit---lebih pahit dari kopi yang mereka seruput. Di tengah situasi politik yang terus berputar, mereka hanya bisa berharap suatu hari akan ada wakil rakyat yang benar-benar mewakili. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa duduk di warung kopi, mengkritik, dan berharap sambil menatap kursi-kursi kosong di gedung dewan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun