Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Presiden Pulang Kampung

20 Oktober 2024   21:42 Diperbarui: 20 Oktober 2024   22:04 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu sore yang lengang di warung kopi favorit mereka, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali duduk melingkar. Kali ini bukan soal kabinet atau pelantikan yang mereka bicarakan, tapi topik yang lebih segar---atau mungkin lucu: presiden lama pulang kampung.

Kobar, si aktivis jalanan yang sudah lelah berteriak, memulai pembicaraan. "Dengar-dengar presiden lama mau pulang kampung. Katanya mau 'menikmati masa pensiun'."

Badu, dengan tangan yang selalu sibuk mengunyah gorengan, langsung menyahut sambil tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, pulang kampung? Itu pasti kampung rasa istana! Mana ada pensiun ala rakyat biasa? Pasti rumahnya besar, sawahnya langsung dipoles jadi lapangan helikopter!"

Rijal, yang selalu berpikiran positif, mencoba mengangkat tangannya untuk memberikan pandangan lain. "Tapi kan wajar, setelah bertahun-tahun memimpin negara, beliau butuh istirahat. Mungkin dengan pulang kampung, beliau ingin kembali ke akar, jadi contoh buat rakyat."

Kahar, si pengamat politik amatir, menggelengkan kepala sambil mengerutkan alis. "Contoh apaan, Rijal? Presiden pulang kampung buat jadi rakyat? Rakyat mana yang bisa punya kampung dengan keamanan ekstra, didampingi ajudan, dan dikelilingi fasilitas mewah? Nanti dibilang hidup sederhana, tapi rekening banknya bisa buat beli desa!"

Kobar tertawa keras sambil memukul meja. "Sederhana versi VIP, Kah! Nanti kalau ditanya wartawan, dia bilang, 'Ah, saya cuma pulang ke rumah kecil saya.' Tapi rumah kecil itu ukurannya lima kali rumah kita semua digabung jadi satu!"

Badu mengangguk setuju. "Iya, iya! Rumahnya mungkin sudah disiapkan bertahun-tahun sebelumnya, dilengkapi kolam renang, kebun buah, dan jalan khusus buat tamu-tamu penting yang nanti datang buat 'main' ke kampung."

Rijal mencoba meredakan tawa teman-temannya. "Tapi kan, beliau bisa saja pulang kampung untuk lebih dekat dengan rakyat, mungkin ingin mengabdi di kampung halamannya, jadi tokoh masyarakat yang peduli."

Kahar tertawa kecil. "Ah, Rijal, kamu ini terlalu polos. Dekat dengan rakyat? Rakyat yang mana? Yang tiap hari ketemu dia nanti itu bukan rakyat biasa, tapi mantan pejabat, pengusaha, dan politisi yang lagi cari cara buat tetap relevan. Jangan kaget kalau kampungnya nanti mendadak jadi pusat kunjungan pejabat."

Kobar menyeringai. "Iya, nanti malah kampungnya dirombak jadi tempat pariwisata! Ada paket wisata 'Jelajah Kampung Presiden Lama,' lengkap dengan tour guide yang bawa tamu keliling rumah beliau. Mungkin bakal ada merchandise juga, kaos bertuliskan 'Pensiun Bahagia'!"

Badu menepuk pundak Kobar. "Dan jangan lupa, mereka jual tiket masuknya mahal! Mau lihat sawah? Bayar! Mau selfie di depan rumah? Bayar!"

Rijal, yang mulai sedikit terganggu dengan parodi teman-temannya, kembali mencoba mempertahankan argumen. "Ya, tapi mungkin juga beliau benar-benar ingin hidup tenang. Setelah bertahun-tahun dihujat, dikritik, mungkin beliau cuma ingin menyepi, bertani, atau memancing di sungai."

Kahar tersenyum sinis. "Menyepi? Bertani? Dengan belasan pengawal yang siap setiap saat, dengan akses langsung ke apa pun yang dia mau? Kalau bertani, paling juga dia cuma liat sawah dari jauh, terus ada orang lain yang kerja di situ buat dia."

Kobar menambahkan, "Dan kalau soal memancing, mungkin dia bakal undang pejabat daerah buat ikutan, terus di Instagram rame-rame bilang, 'Kami menikmati kehidupan desa yang sederhana.' Padahal, habis mancing langsung makan steak di rumahnya yang ada AC-nya."

Badu tertawa keras sampai hampir tersedak gorengan. "Iya, sederhana! Sederhana ala elite!"

Rijal menggelengkan kepala, menyerah mencoba berpikir positif di tengah-tengah tawa teman-temannya. "Ya sudahlah, kalian memang suka cari sisi negatif. Lagipula, mungkin kita harus belajar dari presiden lama. Siapa tahu dia benar-benar ingin hidup sederhana setelah bertahun-tahun jadi orang nomor satu."

Kobar, masih tertawa, menjawab, "Belajar apa? Belajar jadi pensiunan yang diundang ke acara-acara kenegaraan? Nanti tiap kali ada krisis nasional, dia dipanggil lagi buat ngasih 'nasihat bijak,' yang ujung-ujungnya cuma bilang, 'Sabar ya, rakyat. Saya dulu juga pernah sulit, kok.'"

Badu menepuk-nepuk meja. "Nasihat bijak buat siapa? Buat orang-orang yang nggak pernah punya akses ke segala kemudahan kayak dia? Ah, Rijal, kamu ini terlalu baik hati. Presiden lama pulang kampung itu cuma cara baru buat tetap tampil di panggung, tapi dengan gaya lebih halus."

Kahar menutup obrolan dengan senyuman tipis. "Jadi, apa yang kita pelajari hari ini? Bahwa presiden lama pulang kampung, tapi kampung yang dia pulangi bukan kampung kita. Itu kampung versi dunia lain, di mana rakyat cuma bisa ngeliatin dari jauh sambil bertanya-tanya, 'Kok hidup pensiunan presiden lebih enak daripada hidup kita yang masih kerja keras tiap hari?'"

Mereka tertawa lagi, kali ini tawa yang lebih getir, diiringi dengan seruputan kopi pahit. Di luar, dunia politik terus berjalan, sementara mereka hanya bisa menonton dari balik meja kopi, sambil menunggu siapa lagi yang akan "pulang kampung" berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun