Dengan semangat baru, mereka pun mulai merencanakan proyek kerajinan tangan. Selama beberapa hari ke depan, mereka mengumpulkan daun, ranting, dan benda-benda bekas untuk dijadikan kerajinan. Kobar merancang bentuk, Kahar melukis pola-pola menarik, Rijal mempromosikan kepada tetangga, dan Badu berjualan di pasar.
Namun, ketika produk pertama mereka siap, mereka menghadapi kenyataan pahit. Penjualan sangat sepi. Banyak yang melewati stan mereka dan tidak tertarik. Badu mulai merasa putus asa. "Kita sudah berusaha, tapi semua ini sia-sia. Mungkin kita tidak memiliki bakat untuk ini."
Kobar mencoba menenangkan. "Jangan menyerah! Kita baru mulai. Coba kita evaluasi. Mungkin desain kita kurang menarik."
Kahar menambahkan, "Atau mungkin kita bisa menawarkan diskon. Siapa tahu orang-orang lebih tertarik."
Rijal berkata, "Yang terpenting adalah kita tetap optimis. Setiap kegagalan adalah pelajaran untuk kita agar lebih baik di masa depan."
Mendengar kata-kata Rijal, Badu mulai tersenyum. "Baiklah, mari kita coba lagi. Mungkin kita bisa mengubah strategi pemasaran kita."
Setelah beberapa perubahan dan promosi yang lebih agresif, perlahan-lahan, kerajinan tangan mereka mulai laku. Dari yang awalnya sepi, pembeli mulai berdatangan. Mereka bahkan mendapatkan banyak pelanggan tetap.
Suatu sore, ketika mereka duduk di warung kopi, Kobar dengan bangga mengangkat cangkir kopinya. "Lihat, kita berhasil! Semua ini berkat optimisme kita. Kita tidak pernah menyerah!"
Kahar menambahkan, "Betul! Jika kita tetap percaya dan berusaha, pasti ada jalan. Bahkan di tengah kegelapan, selalu ada secercah harapan."
Badu, yang kini lebih optimis, mengangguk setuju. "Siapa sangka dari ketidakpastian bisa lahir peluang baru. Pelajaran ini akan selalu diingat!"
Rijal menutup percakapan mereka dengan bijak. "Optimisme adalah kunci. Dalam hidup, akan selalu ada tantangan. Tapi dengan semangat dan kerja sama, kita bisa menghadapinya dan menemukan solusi."