Kahar menjawab, "Dengan si Budi, si peternak ayam. Katanya, dia merasa Budi lebih stabil dan bisa memberi masa depan."
Badu menggelengkan kepala. "Jadi, semua usaha kamu hanya berujung pada kekecewaan? Padahal kamu sudah berusaha keras."
Rijal menambahkan, "Kadang cinta memang tidak berpihak. Mencintai seseorang tanpa memiliki adalah hal yang sangat menyakitkan. Tapi kamu harus bisa mengikhlaskan."
Kobar, yang tertegun, hanya bisa tersenyum pahit. "Iya, mungkin cinta itu tidak selamanya harus berakhir bahagia. Kita mencintai, tapi kadang kita tidak bisa memiliki."
Kahar kemudian mengusulkan, "Bagaimana kalau kita cari cinta yang lain? Masih banyak gadis di luar sana yang mungkin lebih cocok untuk kita!"
Kobar mengangguk. "Kau benar, Kahar. Mungkin aku perlu membuka mata dan hatiku untuk cinta yang lain. Setidaknya, aku masih memiliki kalian sebagai sahabat."
Kahar tersenyum. "Betul! Cinta itu penting, tapi persahabatan lebih berharga. Kita bisa saling mendukung dan menguatkan."
Badu menambahkan, "Jadi, mari kita terus berbagi cerita dan tawa, meskipun cinta tak terbalas. Itu tidak mengubah betapa berharganya kita sebagai sahabat."
Mereka pun melanjutkan obrolan sambil tertawa, melupakan sejenak rasa sakit yang baru saja dirasakan Kobar. Di tengah derai tawa, mereka menyadari bahwa meskipun cinta yang diinginkan tidak tercapai, persahabatan mereka adalah cinta yang tak ternilai.
Hari-hari berlalu, dan Kobar mulai membuka hati untuk cinta baru. Namun, di sudut hatinya, rasa mencintai Rina akan selalu ada, meski tak bisa memiliki. Dengan dukungan sahabat-sahabatnya, dia belajar untuk mencintai dan menerima kenyataan, menyadari bahwa kadang cinta itu tidak harus berujung pada kepemilikan, tapi pada kebahagiaan dan persahabatan yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H