Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan pohon kelapa, Kobar dan Kahar adalah sahabat karib yang tak terpisahkan. Satu hobi, satu tujuan, dan satu penghalang: cinta. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk dalam urusan hati. Namun, kali ini, persaingan mereka berujung pada kisah cinta bertepuk sebelah tangan.
Suatu sore yang cerah, saat matahari mulai turun ke ufuk barat, mereka berkumpul di warung kopi sambil menyeruput minuman dingin. Di sebelah warung, ada sebuah panggung mini untuk pertunjukan musik, di mana banyak pemuda dan pemudi berkumpul.
Kobar, yang terkenal humoris, mulai bercerita, "Kawan-kawan, aku baru saja mendengar berita tentang Cinta, si gadis cantik dari desa sebelah. Katanya, dia sedang mencari pria dengan sifat sempurna."
Kahar, yang penuh percaya diri, langsung menyela, "Sempurna? Itu pasti aku! Aku punya semua syarat: tampan, pintar, dan, oh ya, aku bisa memasak nasi goreng!"
Badu, sahabat mereka yang selalu skeptis, menegur, "Eh, Kahar! Jangan sombong. Cinta itu bukan cuma soal tampang dan masakan. Ada yang namanya 'perasaan'. Bagaimana jika dia tidak suka nasi gorengmu?"
Rijal, si pengamat yang selalu santai, menambahkan, "Sebaiknya kamu coba mendekatinya. Tapi ingat, jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Itu sakit, lho!"
Kobar dengan senyuman licik berkata, "Kahar, bagaimana jika kita mengadakan kompetisi? Siapa yang berhasil membuat Cinta jatuh cinta lebih dulu, dia yang menang!"
Kahar setuju, "Baik! Mari kita lakukan. Siapa takut?"
Hari-hari berlalu, dan Kahar berusaha keras memikat Cinta. Dia sering terlihat membawa makanan ke rumah Cinta, dengan harapan bisa mengesankan gadis itu. Sementara itu, Kobar juga mencoba berbagai cara, termasuk membawakan Cinta bunga dan puisi yang dia buat sendiri. Sayangnya, semua usaha itu berakhir sia-sia.
Suatu sore, saat Cinta mengadakan acara kumpul-kumpul di rumahnya, Kobar dan Kahar datang bersamaan. Cinta, dengan senyum manisnya, menyapa mereka berdua. "Wah, terima kasih sudah datang! Hari ini aku punya kejutan untuk kalian!"