Di sebuah desa kecil di Jawa, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul di warung kopi sembari menikmati minuman hangat. Malam itu, mereka berbincang tentang 'tirakat', sebuah praktik yang sudah lama dijadikan bagian dari tradisi masyarakat Jawa, namun kini sering dipahami dengan cara yang salah.
Kobar, si pencerah, membuka pembicaraan. "Eh, teman-teman, aku akhir-akhir ini mendengar banyak orang berbicara tentang tirakat. Tapi sepertinya banyak yang salah kaprah. Ada yang berpikir tirakat itu sekadar tidak makan atau tidak tidur!"
Kahar mengangguk. "Benar, Kob! Aku juga sempat bingung. Dulu, waktu kecil, nenekku sering tirakat dengan tidak makan nasi selama beberapa hari. Katanya, itu untuk mendapatkan berkah. Tapi aku malah melihatnya sebagai cara untuk menyiksa diri sendiri."
Badu, si komedian, menimpali, "Ya, dan bukankah lucu ketika kita melihat orang-orang yang tirakat dengan cara ekstrem? Misalnya, menghabiskan waktu berjam-jam di atas pohon demi mendapatkan pencerahan. Lalu, ketika turun, mereka malah pusing dan harus dibawa ke rumah sakit!"
Rijal yang lebih serius menyela, "Tapi kita juga harus melihat sisi positifnya. Tirakat memang bisa menjadi bentuk refleksi dan pengendalian diri. Cuma, kita harus bijak. Jangan sampai kita mengabaikan kebutuhan fisik demi hal yang tidak jelas."
Kobar melanjutkan, "Aku setuju, Rijal. Tirakat itu seharusnya tentang upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengendalikan hawa nafsu, bukan sekadar siksaan fisik. Mungkin kita perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa tirakat bisa dilakukan dengan cara yang lebih sehat."
Kahar menambahkan, "Contohnya, dengan melakukan tirakat secara rutin seperti meditasi, berdoa, atau membantu sesama. Itu jauh lebih bermanfaat dan tidak membuat kita sakit!"
Badu kembali mengambil alih. "Kalau gitu, kita bisa bikin komunitas 'Tirakat Sehat'! Kita adakan pertemuan untuk berbagi pengalaman dan belajar tentang bagaimana menjalankan tirakat dengan cara yang lebih baik. Plus, kita bisa menyediakan makanan sehat setelah sesi tirakat!"
Rijal tersenyum. "Itu ide bagus, Badu! Mungkin kita bisa undang orang-orang yang sudah berpengalaman dalam tirakat. Kita bisa belajar dari mereka tentang makna yang lebih dalam tanpa harus menyiksa diri."
Kobar bersemangat. "Dan kita bisa melibatkan generasi muda. Jangan sampai mereka hanya mengenal tirakat dari mitos yang salah. Kita perlu mengedukasi mereka agar bisa mengaplikasikan tirakat dengan bijaksana."
Kahar mengangguk setuju. "Jadi, pada pertemuan itu, kita bisa mengadakan diskusi tentang makna tirakat. Kita juga bisa mengajak mereka untuk melakukan tirakat dalam bentuk aktivitas sosial, seperti membersihkan lingkungan atau membantu tetangga."
Badu, sambil tersenyum nakal, menambahkan, "Dan jangan lupa, setiap kali tirakat selesai, kita bisa mengadakan pesta kecil dengan makanan enak. Supaya orang-orang tidak merasa tersiksa!"
Rijal tertawa. "Dengan begitu, kita bisa menyebarkan pesan bahwa tirakat bukan hanya tentang penderitaan, tetapi juga tentang kebersamaan, kesehatan, dan kedamaian."
Malam itu, di warung kopi sederhana, keempat sahabat tersebut merencanakan langkah-langkah untuk mengedukasi masyarakat tentang tirakat yang sehat dan bermakna. Dengan segelas kopi di tangan, mereka merasakan betapa pentingnya untuk mendefinisikan kembali praktik tirakat agar lebih relevan di zaman modern.
Dengan tawa dan canda, mereka pulang ke rumah, siap untuk menjalani peran mereka sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Mereka menyadari bahwa dalam setiap tirakat yang mereka lakukan, ada tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara fisik dan spiritual, dan yang terpenting, menjaga kesehatan serta kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H