Kahar mengangguk setuju. "Jadi, pada pertemuan itu, kita bisa mengadakan diskusi tentang makna tirakat. Kita juga bisa mengajak mereka untuk melakukan tirakat dalam bentuk aktivitas sosial, seperti membersihkan lingkungan atau membantu tetangga."
Badu, sambil tersenyum nakal, menambahkan, "Dan jangan lupa, setiap kali tirakat selesai, kita bisa mengadakan pesta kecil dengan makanan enak. Supaya orang-orang tidak merasa tersiksa!"
Rijal tertawa. "Dengan begitu, kita bisa menyebarkan pesan bahwa tirakat bukan hanya tentang penderitaan, tetapi juga tentang kebersamaan, kesehatan, dan kedamaian."
Malam itu, di warung kopi sederhana, keempat sahabat tersebut merencanakan langkah-langkah untuk mengedukasi masyarakat tentang tirakat yang sehat dan bermakna. Dengan segelas kopi di tangan, mereka merasakan betapa pentingnya untuk mendefinisikan kembali praktik tirakat agar lebih relevan di zaman modern.
Dengan tawa dan canda, mereka pulang ke rumah, siap untuk menjalani peran mereka sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Mereka menyadari bahwa dalam setiap tirakat yang mereka lakukan, ada tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara fisik dan spiritual, dan yang terpenting, menjaga kesehatan serta kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H