Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makanan Rohani dan Perut Keroncongan

19 Oktober 2024   01:59 Diperbarui: 19 Oktober 2024   02:25 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kampung yang damai, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul di warung kopi sambil mengobrol santai. Malam itu, mereka membahas topik yang cukup serius namun penuh canda: *makanan rohani*.

Kobar, yang terkenal dengan pemikirannya yang dalam, memulai pembicaraan. "Teman-teman, kita sering mendengar istilah makanan rohani, kan? Itu penting, lho! Seperti membaca buku, mendengarkan ceramah, atau berdoa. Tapi, bagaimana dengan perut kita? Jangan sampai kita lupa makan!"

Kahar mengangguk setuju. "Iya, Kob! Makanan rohani memang penting, tetapi jangan sampai kelaparan, ya! Kemarin aku sampai terlambat menghadiri pengajian hanya karena terlalu asyik mendalami kitab suci. Tahu-tahu perutku keroncongan!"

Badu, yang dikenal humoris, langsung menimpali. "Hah, itu baru namanya salah fokus! Mungkin seharusnya ada pengajian dengan menu spesial, seperti nasi goreng rohani atau rendang kebajikan. Jadi, bisa makan sambil mendalami spiritualitas!"

Rijal yang biasanya pendiam, ikut tertawa. "Kalau gitu, kita bisa bikin komunitas 'Makan dan Berdoa'. Setiap pertemuan, kita bahas tema rohani sambil menyantap hidangan. Siapa yang tidak mau, coba?"

Kobar menggoda, "Tapi, Rijal, jangan sampai makanan yang disajikan tidak seimbang. Kita perlu makanan yang bergizi untuk jiwa dan raga. Mungkin ada yang bisa masak sayur-sayuran spiritual?"

Kahar menambahkan dengan serius, "Sebenarnya, makanan rohani itu bisa datang dari mana saja. Dari pengalaman sehari-hari, dari alam, atau bahkan dari orang-orang di sekitar kita. Asal kita mau belajar dan terbuka."

Badu kembali beraksi. "Iya, tapi kalau perut sudah keroncongan, sulit untuk fokus! Aku pernah mencoba berdoa saat perut kosong, eh malah lebih khawatir kapan makanan datang!"

Rijal menyela, "Kadang, kita perlu menyelaraskan antara makanan fisik dan makanan rohani. Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas hingga lupa merawat diri sendiri. Hidup ini perlu seimbang!"

Kobar tersenyum lebar. "Benar, Rijal! Mungkin kita bisa adakan acara rutin, misalnya, 'Malam Makanan Rohani'. Kita bisa berbagi resep masakan yang enak sekaligus mendalami tema spiritual."

Kahar setuju. "Dan kita bisa mengundang ustaz atau guru untuk berbagi pengalaman. Siapa tahu, makanan yang mereka bawa bisa jadi inspirasi bagi kita semua!"

Badu menimpali, "Tapi ingat, jangan sampai makanan rohani jadi makanan sisa! Kita semua tahu betapa gampangnya melupakan tujuan saat perut kita sudah kenyang."

Rijal tertawa, "Kalau gitu, kita harus mengingatkan satu sama lain. Setiap kali kita merasa lapar, ingatlah untuk juga mengisi 'perut rohani' kita. Entah dengan baca buku, mendengarkan ceramah, atau berdiskusi!"

Malam itu, keempat sahabat tersebut tertawa dan merencanakan acara 'Malam Makanan Rohani'. Mereka bercanda tentang menu-menu aneh yang bisa mereka buat dan bagaimana cara menggabungkan makanan fisik dengan pengalaman spiritual.

Dengan segelas kopi di tangan, mereka merasakan betapa pentingnya keseimbangan antara makanan rohani dan fisik. Dalam tawa dan canda, mereka bertekad untuk menjaga agar tidak hanya tubuh mereka yang terisi, tetapi juga jiwa dan pikiran mereka.

Malam itu menjadi lebih berarti, bukan hanya karena makanan yang mereka rencanakan, tetapi juga karena persahabatan dan diskusi yang menghangatkan hati. Dengan penuh semangat, mereka pulang ke rumah, siap untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara kenyang fisik dan kaya spiritual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun