Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Duitan di Kampung Sederhana

18 Oktober 2024   05:39 Diperbarui: 18 Oktober 2024   08:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kampung yang dikenal sederhana, ada empat sahabat yang selalu berkumpul di pos ronda setiap malam: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka suka membahas isu-isu kampung, dan malam ini, mereka akan mengupas topik panas: masyarakat yang makin "mata duitan."

Kobar, yang selalu merasa paling cerdas, membuka diskusi dengan anggapan sok serius, "Kawan-kawan, kalian sadar nggak, sekarang semua orang kayaknya cuma mikirin uang. Bahkan, tetangga kita yang dulu santai sekarang juga berubah. Mata duitan semua!"

Badu, yang selalu paling santai, langsung menimpali sambil ketawa, "Ah, Kobar, kalau soal duit, siapa sih yang nggak mau? Lihat aku, malah kepikiran tiap hari. Harga cabai naik, susu anak naik, semua naik. Gimana nggak mikirin duit?"

Kahar, si penyeimbang, mencoba menenangkan, "Mikirin uang itu wajar, Badu. Tapi yang Kobar maksud mungkin lebih ke perilaku orang-orang sekarang yang apa-apa jadi soal uang. Bantuan tetangga saja sekarang nggak ada yang gratis."

Rijal, yang terkenal dengan komentar-komentar tajamnya, ikut menyela, "Ya, benar. Dulu tetangga kita bantu dengan tulus. Sekarang kalau minta tolong apa-apa, pasti nanya, 'Ada upahnya nggak?' atau 'Berapa bayarnya?' Semua serba transaksional."

Kobar semakin semangat, "Nah, itu dia! Bahkan, aku dengar, kemarin si Pak RT mau pasang lampu jalanan baru. Tetangga kita, si Pak Tono, minta imbalan dulu baru mau bantu. Padahal, dulu kerja bakti itu kerja bareng-bareng tanpa mikirin bayaran."

Badu, sambil menguap, berkata, "Ya kalau duitnya ada sih, kenapa nggak dibayar aja, ya kan?"

Kahar tertawa kecil, "Badu, masalahnya bukan soal bayar atau nggak. Ini soal niat. Dulu, orang-orang bantu karena merasa itu kewajiban bersama. Sekarang, semua dihitung pakai uang."

Rijal menambahkan dengan nada lebih serius, "Dan ini bukan cuma soal kerja bakti. Lihat saja, orang-orang sekarang kalau punya hajatan, undangan dibuat berlebihan, hadiah yang diharap juga harus gede. Kalau nggak ngasih amplop tebal, besok-besok nggak diajak lagi ke acara."

Kobar mengangguk setuju, "Betul! Orang-orang sekarang lebih tertarik sama nilai amplop daripada niat kita datang. Mereka lupa, kebersamaan lebih penting daripada uang."

Badu tiba-tiba tertawa keras, "Tapi, kalian nggak bisa bohong. Kalian juga pasti mikirin amplop kalau diundang kondangan. Jangan-jangan kalian yang lebih mata duitan!"

Kahar mencoba membela diri, "Eh, tunggu dulu, Badu. Bukan berarti kita nggak pernah mikirin duit, tapi ada batasnya. Kalau segala hal jadi tentang uang, kapan kita bisa hidup tenang?"

Kobar, yang selalu suka memonopoli percakapan, berkata dengan nada lebih dramatis, "Benar! Kita sudah lupa arti gotong royong. Lihat saja waktu Bu Siti butuh bantuan renovasi rumahnya. Banyak yang bilang sibuk, padahal kalau dibayar, pasti langsung datang ramai-ramai."

Rijal yang biasanya paling kalem, tersenyum tipis, "Masalahnya bukan cuma di kampung ini. Ini fenomena di mana-mana. Orang-orang sekarang lebih suka keuntungan materi daripada nilai sosial. Tapi anehnya, kalau giliran mereka yang butuh, baru deh teriak soal solidaritas."

Badu, yang tampak malas menanggapi serius, menyela lagi, "Ah, santai saja lah. Duit memang penting. Kalau bisa, kita cari yang banyak biar hidup enak."

Kobar menatap Badu dengan tajam, "Nah, ini salah satu masalahnya! Semua orang jadi mikirnya kayak kamu, Badu. Harta di atas segalanya."

Kahar mencoba mengimbangi, "Ya, kita nggak bisa munafik. Uang memang penting, tapi kalau sampai semua hal diukur pakai uang, kita kehilangan esensi kebersamaan."

Rijal menutup diskusi malam itu dengan kalimat yang membuat semua terdiam sejenak, "Kalau orang terus mengejar uang, tanpa peduli lagi sama orang lain, lama-lama yang mereka kejar bukan cuma uang, tapi kesendirian. Karena saat semua serba dihitung pakai materi, kita lupa menghargai hal-hal yang nggak ternilai, seperti persahabatan, kejujuran, dan kebersamaan."

Mereka semua terdiam, merenungkan kata-kata Rijal. Malam itu terasa berbeda, karena meskipun mereka tertawa dan bercanda seperti biasa, ada kesadaran baru yang perlahan muncul di benak mereka.

Namun, di tengah kesunyian itu, Badu tiba-tiba berkata dengan nada santai, "Eh, tapi seriusan, kalau besok aku bantu pasang lampu jalan, bayarannya berapa ya?"

Semua tertawa terbahak-bahak. Parodi nyata kehidupan yang tak pernah lepas dari cengkeraman mata duitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun