"Tapi masalahnya, kamu terlalu cuek, Badu," Kobar menyela. "Ingat nggak waktu ibu tetangga sebelah minta tolong antar ke puskesmas, kamu malah bilang 'sabar ya, saya lagi nyuci motor'. Padahal dia sakit keras!"
Badu hanya tertawa kering, tak bisa membantah.
Akhirnya, Kahar yang dari tadi memperhatikan dengan seksama berkata, "Sebenarnya, masalah kita ini ada pada keseimbangan. Terlalu peduli, salah. Terlalu cuek, salah juga. Kita hanya perlu tahu kapan harus peduli dan kapan harus memberi ruang."
Kobar mengangguk-angguk, merasa tersentuh oleh kata-kata Kahar. "Benar juga, ya. Jadi tetangga itu susah-susah gampang. Kita mau jadi baik, tapi ternyata malah salah."
Rijal menyahut, "Mungkin kuncinya bukan cuma di tindakan kita, tapi juga bagaimana kita memahami kebutuhan tetangga. Kadang mereka butuh kita dekat, kadang mereka butuh kita jauh."
Badu yang mulai berpikir lebih dalam menambahkan, "Tetangga itu seperti garam. Kalau kebanyakan, bikin asin. Kalau kurang, hambar. Pas-pasan saja."
Diskusi malam itu ditutup dengan tawa mereka yang lepas, seakan-akan semua masalah menjadi ringan. Mereka menyadari bahwa menjadi tetangga yang baik bukanlah tentang selalu hadir atau selalu membantu, melainkan tentang menghormati batas-batas antara kepedulian dan privasi.
Namun, keesokan harinya, saat Rijal sedang menjemur baju, dia melihat Kobar lagi-lagi sibuk membetulkan pagar rumah tetangga yang lain---tanpa diminta.
"Ah, Kobar memang nggak pernah kapok," gumam Rijal sambil tersenyum lebar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H