Kobar mengangguk. "Iya, tapi ini saatnya berubah! Mari kita mulai dengan cara yang berbeda."
Hari-hari berlalu, dan Kobar mulai menerapkan perubahan karakternya. Dia mengatur jadwal harian, mencatat setiap kegiatan, dan berusaha menjauh dari kebiasaan buruknya. Dia bahkan mengganti menu kopi mereka dari kopi hitam biasa menjadi cappuccino dengan busa susu yang sempurna.
"Wah, Kobar, apa ini? Kopi atau susu? Rasanya jadi manis banget!" Rijal mengeluh.
Kobar menjawab dengan nada serius, "Kita harus menghargai hidup dengan hal-hal yang lebih baik! Dan ini adalah bagian dari perubahan."
Kahar, Badu, dan Rijal mulai merasa bahwa Kobar terlalu berlebihan. Suatu malam, saat berkumpul di warung kopi, Kahar berusaha mengingatkan, "Kobar, mungkin kamu perlu mengingat siapa dirimu yang sebenarnya. Tidak semua orang butuh perubahan yang drastis."
"Justru itu! Kita harus berani keluar dari zona nyaman!" Kobar menjawab, berapi-api.
Badu, yang tak tahan melihat sahabatnya berubah total, memutuskan untuk beraksi. "Bagaimana kalau kita lakukan eksperimen? Kita coba berperan sesuai karakter kita masing-masing selama satu minggu. Kobar, kamu tetap dengan karaktermu yang baru, sementara kita berperan sebagai 'Kobar lama'."
"Deal!" Kobar setuju tanpa ragu.
Selama seminggu ke depan, Kahar, Badu, dan Rijal berusaha menampilkan karakter Kobar yang lama. Mereka kembali ke kebiasaan bercanda, menghabiskan waktu tanpa beban, dan tidak peduli dengan hal-hal yang dianggap 'serius'. Setiap kali Kobar mengajak mereka berbicara tentang cita-cita dan visi masa depan, mereka menjawab dengan candaan.
"Saya mau jadi pengusaha sukses!" kata Kahar dengan nada konyol.
"Bagaimana kalau kita buka warung kopi? Biar jadi pengusaha sekaligus!" Badu menimpali, membuat Kobar mendengus kesal.