Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat yang tak terpisahkan. Mereka biasa menghabiskan waktu di warung kopi, berbagi cerita, dan bergurau. Namun, suatu sore, suasana terasa berbeda. Kobar tampak gelisah, berulang kali memeriksa ponselnya.
Di sebuah desa kecil yang sejuk,"Eh, Kobar! Kamu kenapa? Seperti orang nunggu pacar yang telat janji!" Badu menggoda.
"Ah, tidak ada apa-apa," jawab Kobar, tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Kahar, yang lebih peka, langsung bertanya, "Ada masalah dengan Mira, kan? Kita tahu kalian baru-baru ini sering berdebat."
Kobar menghela napas. "Iya, kita memang sering tidak sejalan belakangan ini. Aku merasa kita sudah mulai jauh."
"Jauh? Kapan?" tanya Rijal penasaran. "Kan kalian baru saja liburan bareng?"
"Iya, tapi setelah itu, semua terasa berbeda. Kita tidak bisa sepakat tentang banyak hal. Dari mulai memilih film hingga merencanakan masa depan," Kobar menjelaskan.
Kahar mencoba memberikan perspektif. "Mungkin itu cuma fase. Setiap pasangan pasti punya masa-masa sulit. Coba bicarakan dengan Mira, mungkin kalian bisa menemukan jalan tengah."
"Bicara? Sudah! Tapi setiap kali aku bilang sesuatu, dia selalu merasa disalahkan. Rasanya seperti berjalan di atas telur!" Kobar menggerutu.
Badu, yang selalu optimis, menambahkan, "Coba ingat kenapa kalian jatuh cinta. Mungkin kalian hanya butuh waktu untuk saling mendengarkan."
Kobar menggeleng. "Tapi bagaimana kalau ternyata kita tidak lagi punya tujuan yang sama? Aku merasa terjebak di satu tempat yang sama."
"Kadang hubungan itu seperti komedi. Kita bisa membuatnya lucu dengan cara pandang kita," Rijal berpendapat. "Coba kamu buat situasi itu jadi lebih ringan. Jangan terlalu serius."
"Serius? Aku sudah serius, dan sekarang dia malah menganggap aku hanya bercanda!" Kobar menjawab dengan nada frustrasi.
Kahar memikirkan sesuatu. "Bagaimana kalau kita buat simulasi? Ajak Mira ngobrol sambil kita berempat jadi karakter tambahan. Dengan begitu, kamu bisa lihat situasi dari sudut pandang yang berbeda."
Badu tertawa. "Itu ide bagus! Kita bisa jadi 'pembantu' yang membantu mengatasi masalah!"
Rijal bersemangat. "Ayo, kita panggil Mira. Kita bisa bikin skenario yang lucu dan menghibur!"
Kobar, meski ragu, setuju. "Baiklah, mari kita coba. Semoga bisa membantu."
Tak lama kemudian, mereka mengatur pertemuan di warung kopi. Mira datang dengan wajah lelah, mungkin setelah seharian bekerja. Kobar mencoba bersikap santai, meskipun dalam hatinya masih ada kekhawatiran.
"Eh, Mira! Kita mau mengajak kamu main game. Ini tentang hubungan kita," Badu berkata ceria.
Mira tampak bingung. "Game? Hubungan? Kalian ini apaan sih?"
Kahar menjelaskan, "Kita ingin kamu dan Kobar berdialog, dan kita berempat akan jadi karakter tambahan. Ini bisa jadi cara seru untuk melihat bagaimana komunikasi kalian."
Mira tertawa. "Oke, ini terdengar konyol. Tapi kenapa tidak?"
Kobar dan Mira pun mulai berdialog, dan Kobar mencoba berbicara dengan lebih tenang. Namun, saat mereka sampai di bagian di mana Mira mengungkapkan perasaannya, tiba-tiba Badu menyela, "Eh, kenapa tidak coba langsung ke intinya? Jangan bertele-tele!"
Semua tertawa, termasuk Mira. "Benar juga! Kenapa kita tidak bisa langsung bicara?"
Rijal, yang berperan sebagai 'pembantu,' berkomentar, "Kita bisa bercerita tentang impian masa depan. Apa kamu dan Kobar masih sepakat?"
Mira, yang mulai merasa lebih santai, berkata, "Aku ingin kita punya rencana untuk ke depan. Tapi Kobar selalu tampak ragu."
Kobar menanggapi, "Aku hanya ingin memastikan kita berdua sepakat. Kalau kita tidak sejalan, bagaimana bisa membangun masa depan bersama?"
Badu, yang berperan sebagai mediator, mengusulkan, "Kenapa tidak cari titik temu? Misalnya, kalian bisa menentukan beberapa hal yang penting dan saling berkompromi."
"Jadi, semacam perjanjian? Mungkin itu bisa membantu kita lebih fokus," jawab Mira.
Kahar menambahkan, "Cobalah untuk berbicara lebih terbuka. Jika ada yang tidak suka, sampaikan langsung. Jangan sampai terpendam!"
Setelah beberapa sesi tawa dan candaan, Kobar dan Mira mulai berbicara lebih terbuka. Mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat bukanlah akhir dari segalanya. Justru, itulah yang membuat hubungan mereka lebih berwarna.
"Terima kasih, teman-teman! Kalian benar-benar membantu," Kobar berkata dengan senyum lebar.
Mira menambahkan, "Ya, kadang kita hanya perlu sudut pandang yang berbeda untuk menyelesaikan masalah. Kita bisa belajar untuk saling mendukung dan berkomunikasi lebih baik."
Di akhir pertemuan, Kobar dan Mira merasa lebih dekat satu sama lain. Mereka meninggalkan warung kopi dengan semangat baru dan harapan untuk masa depan. Sementara itu, Badu, Kahar, dan Rijal merasa bangga karena telah membantu sahabat mereka menemukan jalan di tengah kebuntuan.
"Mungkin kita bisa jadi konsultan hubungan berikutnya!" Badu berkata sambil tertawa, dan semua setuju. Karena, siapa tahu, cinta mereka bisa bertahan, bahkan di saat tak lagi sejalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H