Badu, sambil menyodorkan gorengan, berkata, "Kalau menurutku, teman yang sebenarnya adalah yang bisa saling jujur dan terbuka. Yang bisa diajak curhat dan berbagi beban."
Kahar berpikir. "Tapi, itu juga bisa menyakitkan, kan? Misalnya, jika kita harus memberitahu satu sama lain tentang kesalahan. Itu bisa merusak hubungan."
"Ah, itu tergantung cara penyampaian," Rijal menjawab. "Kalau kita berbicara dengan baik, pasti tidak akan ada masalah. Jangan sampai kita hanya berani bicara di belakang."
Badu yang mendengarkan, tertawa. "Jadi kita harus bikin kode untuk tahu kalau kita saling jujur? Misalnya, saat kita semua ngopi, kita bilang, 'Kita ini teman sejati!' setiap kali ada masalah?"
Kahar menyeringai. "Ya ampun, Badu! Jangan sampai itu jadi meme, ya. 'Ngopi bareng, masalah selesai!'"
Kobar menambahkan, "Bagaimana kalau kita coba satu hal? Kita ambil momen ini untuk saling berbagi rahasia kecil. Siapa tahu, itu bisa memperkuat persahabatan kita."
"Setuju! Tapi siapa yang mau mulai?" tanya Rijal.
Badu berani angkat tangan. "Oke, aku mulai! Kalian semua tahu kan, aku ini pelupa? Nah, beberapa minggu lalu, aku lupa naro dompet. Teman-teman, jangan tanya, itu pengalaman yang meresahkan!"
Semua tertawa. Kahar melanjutkan, "Sekarang giliran aku. Kemarin, aku nekat minjem motor tetangga tanpa izin. Duh, itu bikin deg-degan! Mendingan kita sepakat untuk tidak berbohong dari sekarang!"
Rijal terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku punya cerita. Beberapa bulan lalu, aku merasa sangat tertekan dengan kerjaan. Tapi, aku tidak bilang ke kalian karena aku tidak ingin merepotkan. Kini, aku menyadari bahwa kalian adalah teman yang bisa kuandalkan."
Kobar tersenyum, "Sekarang giliran aku. Sebetulnya, aku juga sering berpura-pura kuat. Padahal, di dalam hati, aku juga butuh dukungan."