Di sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah hijau dan bukit, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah empat sahabat yang dikenal dengan sifat unik masing-masing. Kobar adalah optimis, Kahar selalu skeptis, Badu adalah jokester, dan Rijal adalah pengamat yang tajam. Suatu sore, mereka berkumpul di warung kopi Bu Tini sambil menikmati gorengan hangat dan secangkir kopi.
"Saatnya kita bahas hal serius, teman-teman," kata Kobar dengan semangat. "Pernahkah kalian berpikir tentang kebaikan dalam keburukan?"
Kahar mengangkat alis. "Kebaikan dalam keburukan? Seperti mana? Itu terdengar seperti kalimat bijak yang hanya bisa diucapkan orang tua di dalam pengajian."
Badu tertawa. "Oh, come on, Kahar! Maksudnya pasti ada sesuatu yang bisa kita angkat. Misalnya, saat kita terjebak dalam masalah, pasti ada pelajaran yang bisa dipetik."
Rijal yang lebih serius menanggapi, "Tapi kadang, keburukan itu tampak begitu menakutkan. Bagaimana bisa kita menemukan kebaikan di dalamnya?"
"Begini," Kobar mulai menjelaskan, "coba kita ingat kembali kejadian di desa kita beberapa waktu lalu. Ketika ladang kita dilanda hama. Semua orang panik, tetapi di balik itu, kita belajar untuk berkolaborasi dan saling membantu."
"Ah, itu hanya alasan untuk bergaul," potong Kahar. "Sebenarnya, semua orang marah dan saling menyalahkan. Apa yang baik dari situasi itu?"
Badu mencelah, "Tapi bukankah itu memicu rasa solidaritas? Kita semua bekerja sama untuk mengatasi hama itu. Kita sampai punya festival bersama untuk merayakan panen! Itu kan kebaikan?"
Kahar menggelengkan kepala. "Festival? Apa yang bisa kita rayakan dari panen yang gagal? Kita merayakan kegagalan, ya?"
Rijal mengangguk. "Tapi, Kahar, kadang kita perlu merayakan keberanian untuk bangkit. Dalam situasi terburuk, kita bisa menemukan cara untuk berinovasi."
Kobar menambahkan, "Bisa jadi hama itu malah mengajari kita untuk lebih peka terhadap alam. Kita mulai mencari cara organik untuk melindungi tanaman kita."
Badu melanjutkan, "Dan kita menjadi lebih kreatif! Dulu kita hanya menanam padi, sekarang kita mencoba menanam sayuran dan buah-buahan! Mungkin hama itu berfungsi sebagai jembatan untuk hal-hal baik."
Kahar terlihat bingung. "Jadi kita berterima kasih pada hama sekarang? Itu aneh, Kobar!"
Kobar tersenyum. "Tapi itu kebenaran! Kadang, situasi yang tampaknya buruk dapat membuka pintu untuk hal-hal baik yang tidak kita duga."
Rijal berkata, "Bisa jadi, kita harus memandang keburukan sebagai tantangan. Saat kita menghadapinya, kita tumbuh lebih kuat. Itu adalah kebaikan dalam keburukan."
Badu mulai beraksi. "Jadi, ketika kita menghadapi masalah, kita harus menyambutnya dengan tawa, ya? Seperti saat kita semua terjebak di ladang dan tidak bisa pulang karena mobil mogok! Kan kita ketawa sampai perut sakit!"
Kahar tersenyum meski masih skeptis. "Iya, iya. Tetapi apakah kita bisa terus-menerus menemukan kebaikan dalam keburukan?"
"Kenapa tidak?" Kobar menjawab. "Setiap kali kita jatuh, kita bangkit lagi, bukan? Itu yang membuat kita lebih berharga."
Tiba-tiba, seorang pengunjung baru datang ke warung, terlihat gelisah. "Maaf, apakah kalian bisa membantu saya? Saya kehilangan dompet dan tidak bisa pulang!"
Kobar langsung menjawab, "Tenang! Kami akan membantu! Ini bisa jadi kesempatan untuk berbuat baik, kan?"
Badu menggodanya. "Iya, bisa jadi ini adalah ujian bagi kita untuk menemukan kebaikan di dalam keburukan!"
Kahar tidak bisa menahan tawa. "Semoga tidak sampai ke titik di mana kita harus merayakan kehilangan dompet."
Mereka pun segera membantu pengunjung itu mencari dompetnya. Dalam proses pencarian, mereka merasakan kebersamaan yang kuat. Sambil tertawa dan bercanda, mereka menyadari bahwa situasi sulit itu malah mempererat ikatan mereka.
Setelah beberapa lama mencari, akhirnya dompet itu ditemukan di balik kursi. Pengunjung itu sangat bersyukur. "Terima kasih banyak! Kalian benar-benar baik hati!"
Kobar menimpali, "Inilah kebaikan dalam keburukan, kan? Tanpa situasi ini, kami mungkin tidak akan punya pengalaman menyenangkan bersama."
Rijal menambahkan, "Dan kita bisa membantu orang lain, itu lebih berharga."
Ketika pengunjung itu pergi, mereka kembali ke obrolan mereka. Kahar, yang mulai mengubah pandangannya, mengangguk. "Mungkin ada kebenaran dalam kata-kata kalian. Mungkin ada kebaikan yang tersembunyi di balik setiap keburukan."
Badu melanjutkan, "Dan terkadang, yang kita butuhkan hanyalah cara pandang yang berbeda untuk menemukan makna. Kebaikan dalam keburukan itu nyata!"
Dengan tawa dan canda, mereka melanjutkan perbincangan di warung Bu Tini. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal menyadari bahwa hidup ini memang penuh dengan liku-liku, tetapi jika mereka bersatu, mereka akan selalu menemukan kebaikan, bahkan di tempat yang paling tidak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H