Di sebuah desa yang damai dan asri, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat karib. Setiap sore, mereka duduk di warung kopi milik Bu Tini untuk bersantai dan membahas berbagai topik, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga isu-isu yang lebih kompleks.Â
Suatu sore, perbincangan mereka beralih ke topik yang lebih berat: nilai kebenaran yang relatif.
"Menurut kalian, apakah kebenaran itu mutlak atau relatif?" tanya Kobar sambil menyeduh kopi.
Kahar, yang selalu kritis, langsung menjawab, "Kebenaran itu relatif! Apa yang benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain. Contohnya, aku suka kopi hitam, tetapi Badu lebih suka kopi susu."
Badu, yang sedang mencicipi kopinya, mengangguk setuju. "Ya, dan aku percaya bahwa kita semua memiliki kebenaran masing-masing. Seperti ketika kita bermain sepak bola. Kemenanganku mungkin dianggap kalah oleh tim lain!"
Rijal, yang optimis, menambahkan, "Tapi ada juga kebenaran yang universal, seperti bahwa air itu basah. Itu tidak bisa diperdebatkan!"
Kobar mengerutkan kening. "Tapi, ada orang yang mengatakan bahwa air bisa menjadi es, dan dalam keadaan itu, ia tidak lagi basah. Lalu, apa kita bisa bilang itu salah?"
Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan argumen Kobar. Kemudian, Kahar dengan semangat berujar, "Bagaimana kalau kita uji nilai kebenaran ini dengan tantangan? Kita buat debat tentang kebenaran relatif!"
"Setuju!" seru Badu. "Kita bagi jadi dua tim. Satu tim membela kebenaran mutlak dan yang lain membela kebenaran relatif. Siapa yang kalah harus membayar kopi!"
Setelah sepakat, mereka mulai mempersiapkan argumen masing-masing. Kobar dan Rijal berdebat untuk tim kebenaran relatif, sementara Kahar dan Badu berjuang untuk tim kebenaran mutlak. Mereka sepakat untuk bertemu di lapangan desa keesokan harinya.