Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Akal dan Hati

16 Oktober 2024   00:47 Diperbarui: 16 Oktober 2024   00:51 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggal empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka adalah teman sejati, tetapi sering terlibat dalam perdebatan yang tiada henti tentang banyak hal, terutama tentang pilihan hidup. Suatu hari, perdebatan itu mencapai puncaknya saat Kobar mengusulkan topik yang cukup kontroversial: "Dahulukan akal atau hati?"

"Aku bilang kita harus mendahulukan akal!" Kobar berargumen. "Akal itu penting untuk membuat keputusan yang rasional! Hati hanya membuat kita emosional dan kadang mengambil keputusan yang salah."

Kahar, yang dikenal sebagai pemikir kritis, mengangkat tangan. "Tunggu dulu, Kobar! Hati juga penting! Tanpa hati, kita tidak akan punya empati. Kadang, keputusan terbaik datang dari perasaan kita."

Badu, yang hanya tertarik dengan makanan, menginterupsi, "Aku setuju dengan Kahar! Hati itu seperti garam dalam masakan; tanpa garam, semuanya terasa hambar. Tetapi, aku lebih suka makan nasi goreng daripada mendengarkan perdebatan ini."

Rijal, yang selalu ingin menengahi, berkata, "Bagaimana kalau kita melakukan eksperimen? Kita akan menghadapi dua situasi berbeda: satu yang mengandalkan akal dan satu lagi yang mengandalkan hati. Kita lihat hasilnya!"

Mereka pun sepakat untuk mencoba eksperimen itu. Kobar, yang antusias, memilih untuk mengandalkan akalnya dalam situasi pertama. Ia mendapatkan tugas untuk bernegosiasi dengan pedagang di pasar mengenai harga sayuran. "Aku akan menggunakan strategi tawar-menawar yang cerdas!" serunya sambil bersemangat.

Di sisi lain, Kahar memilih untuk mengandalkan hatinya. Ia mendatangi seorang teman lama yang sedang dalam kesulitan dan berencana untuk membantunya tanpa meminta imbalan. "Hati akan membawaku pada hal yang lebih baik," ucapnya percaya diri.

Hari berlalu, dan Kobar kembali dari pasar dengan senyum lebar. "Aku berhasil mendapatkan harga sayur setengah dari harga aslinya! Akalku berfungsi dengan baik!" katanya bangga.

Kahar tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka. "Sementara itu, aku membantu temanku membayar utangnya. Meskipun tidak ada imbalan, aku merasa bahagia melihat dia tersenyum."

Badu yang masih lapar berkomentar, "Tapi, kita tidak bisa makan hanya dengan akal atau hati. Keduanya harus seimbang! Aku hanya ingin makan nasi goreng yang enak."

Rijal mencoba menyimpulkan. "Sekarang, mari kita lihat situasi kedua. Kita akan menghadapi ujian: Kobar akan mengandalkan hati dan Kahar mengandalkan akal. Siapa yang lebih berhasil?"

Mereka sepakat untuk menguji kemampuan masing-masing dalam situasi yang sama. Di ujian ini, Kobar ditugaskan untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang kesulitan, sementara Kahar harus memecahkan masalah rumit dalam waktu terbatas.

Kobar datang ke rumah seorang tetangga yang sakit dan menawarkan bantuan. "Aku di sini untuk membantumu, Pak Amir! Hati ini ingin memberimu semangat!" serunya penuh kasih.

Namun, saat Kobar berusaha menolong, ia tanpa sengaja menumpahkan air ke lantai dan membuat kekacauan. "Ups! Aku tidak tahu bahwa air bisa membuat semuanya lebih rumit," ujarnya sambil tertawa canggung.

Sementara itu, Kahar yang sedang memecahkan masalah di desa, berusaha menganalisis situasi dan mencari solusi. Namun, ia terjebak dalam perhitungan dan tidak bisa membuat keputusan. "Aduh! Kenapa semua angka ini tidak mau cocok?" keluhnya.

Badu, yang mengamati situasi ini, tidak bisa menahan tawa. "Kalian berdua sama-sama konyol! Kobar, hatimu terlalu bersemangat tanpa akal, dan Kahar, akalmu membuatmu bingung karena terlalu banyak berpikir!"

Rijal, yang mencoba menjaga ketenangan, berkata, "Mungkin kita harus belajar dari satu sama lain. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya bisa saling melengkapi."

Kobar dan Kahar akhirnya setuju. "Mungkin benar bahwa kita harus menemukan keseimbangan antara akal dan hati. Kadang, akal membantu kita membuat keputusan yang logis, tetapi hati membawa kita pada tindakan yang penuh kasih."

Akhirnya, mereka duduk bersama, membahas bagaimana cara menerapkan kedua hal tersebut dalam hidup sehari-hari. Dalam tawa dan kebersamaan, mereka menyadari bahwa akal dan hati tidak perlu saling bertentangan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat saling melengkapi.

Dengan semangat baru, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal pulang ke rumah, bertekad untuk tidak hanya menggunakan akal atau hati, tetapi juga menggabungkan keduanya dalam setiap langkah hidup mereka. Dalam perjalanan pulang, mereka tertawa dan berbagi cerita, menyadari bahwa persahabatan mereka adalah harta yang lebih berharga dari sekadar akal dan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun