Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggal empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka adalah teman sejati, tetapi sering terlibat dalam perdebatan yang tiada henti tentang banyak hal, terutama tentang pilihan hidup. Suatu hari, perdebatan itu mencapai puncaknya saat Kobar mengusulkan topik yang cukup kontroversial: "Dahulukan akal atau hati?"
"Aku bilang kita harus mendahulukan akal!" Kobar berargumen. "Akal itu penting untuk membuat keputusan yang rasional! Hati hanya membuat kita emosional dan kadang mengambil keputusan yang salah."
Kahar, yang dikenal sebagai pemikir kritis, mengangkat tangan. "Tunggu dulu, Kobar! Hati juga penting! Tanpa hati, kita tidak akan punya empati. Kadang, keputusan terbaik datang dari perasaan kita."
Badu, yang hanya tertarik dengan makanan, menginterupsi, "Aku setuju dengan Kahar! Hati itu seperti garam dalam masakan; tanpa garam, semuanya terasa hambar. Tetapi, aku lebih suka makan nasi goreng daripada mendengarkan perdebatan ini."
Rijal, yang selalu ingin menengahi, berkata, "Bagaimana kalau kita melakukan eksperimen? Kita akan menghadapi dua situasi berbeda: satu yang mengandalkan akal dan satu lagi yang mengandalkan hati. Kita lihat hasilnya!"
Mereka pun sepakat untuk mencoba eksperimen itu. Kobar, yang antusias, memilih untuk mengandalkan akalnya dalam situasi pertama. Ia mendapatkan tugas untuk bernegosiasi dengan pedagang di pasar mengenai harga sayuran. "Aku akan menggunakan strategi tawar-menawar yang cerdas!" serunya sambil bersemangat.
Di sisi lain, Kahar memilih untuk mengandalkan hatinya. Ia mendatangi seorang teman lama yang sedang dalam kesulitan dan berencana untuk membantunya tanpa meminta imbalan. "Hati akan membawaku pada hal yang lebih baik," ucapnya percaya diri.
Hari berlalu, dan Kobar kembali dari pasar dengan senyum lebar. "Aku berhasil mendapatkan harga sayur setengah dari harga aslinya! Akalku berfungsi dengan baik!" katanya bangga.
Kahar tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka. "Sementara itu, aku membantu temanku membayar utangnya. Meskipun tidak ada imbalan, aku merasa bahagia melihat dia tersenyum."
Badu yang masih lapar berkomentar, "Tapi, kita tidak bisa makan hanya dengan akal atau hati. Keduanya harus seimbang! Aku hanya ingin makan nasi goreng yang enak."