Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdamai dengan Kenangan

15 Oktober 2024   17:40 Diperbarui: 15 Oktober 2024   18:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa yang tenang, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat yang telah bersama sejak kecil. Meski mereka sering terlibat dalam petualangan konyol, ada satu hal yang selalu mengikat mereka: kenangan indah masa lalu. Namun, tidak semua kenangan itu manis; beberapa di antaranya adalah kenangan pahit yang sulit untuk dihadapi.

Suatu sore, saat mereka berkumpul di warung kopi milik Ibu Tini, Kobar mulai bercerita. "Ingat nggak waktu kita bersepeda ke bukit? Aku terjatuh dan semua orang tertawa?"

Kahar mengangguk, "Oh iya! Dan kamu berusaha berdiri sambil berteriak, 'Aku baik-baik saja!' padahal lututmu berdarah."

Badu, yang sedang makan keripik, menambahkan, "Aku masih ingat betapa lucunya wajahmu saat kamu mencoba bangkit! Seperti melihat badut jatuh!"

Rijal, yang lebih serius, berkata, "Tapi itu juga mengingatkan kita bahwa kadang kenangan bisa menyakitkan. Aku masih merasa bersalah karena tidak menolongmu saat itu."

Kobar tersenyum, "Tidak apa-apa, Rijal. Itu hanya kenangan. Kita harus belajar untuk berdamai dengan kenangan-kenangan itu."

Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa tidak semua kenangan bisa dianggap remeh. Beberapa kenangan pahit mengganggu pikiran mereka, terutama ketika Badu mengingat insiden saat dia kehilangan anjing kesayangannya, Ciko.

"Ciko adalah sahabat terbaikku! Setiap kali aku mengingatnya, aku merasa sedih," kata Badu dengan suara penuh penyesalan.

Kahar mencoba menghibur, "Badu, kenangan tentang Ciko tidak perlu membuatmu merasa bersalah. Kita bisa merayakan hidupnya!"

"Bagaimana kita bisa merayakan hidupnya?" tanya Badu, masih dengan raut wajah murung.

Rijal, yang selalu optimis, mencetuskan ide. "Bagaimana kalau kita mengadakan pesta kecil untuk mengenang Ciko? Kita bisa mengundang semua orang di desa!"

Kobar setuju, "Itu ide bagus! Kita bisa membuat banner, menyiapkan makanan, dan berbagi cerita tentang Ciko!"

Mereka pun mulai merencanakan pesta tersebut. Setiap dari mereka memiliki tugas yang berbeda. Kobar bertanggung jawab untuk membuat spanduk, Kahar mengatur konsumsi, Badu menyiapkan hiburan, dan Rijal mengundang semua orang.

Saat hari pesta tiba, warung kopi Ibu Tini penuh dengan warga desa yang datang untuk mengenang Ciko. Mereka mendengarkan cerita lucu dan mengharukan tentang anjing itu. Kobar menceritakan bagaimana Ciko selalu menggonggong saat ada orang asing mendekat.

"Dia benar-benar pelindung desa kita! Tapi juga pelawak," Kobar menambahkan, membuat semua orang tertawa.

Badu, yang awalnya cemas, mulai merasakan kebahagiaan ketika mendengar cerita-cerita itu. "Aku rasa Ciko tidak ingin kita bersedih. Dia ingin kita bahagia," ujarnya dengan senyuman.

Kahar menyarankan, "Mari kita beri penghormatan terakhir kepada Ciko dengan menyanyikan lagu yang dia suka!"

Mereka pun bernyanyi bersama. Suasana penuh tawa dan air mata bahagia, mengenang Ciko dengan cara yang penuh cinta. Badu merasa lebih ringan, seolah beban di pundaknya telah hilang.

Setelah pesta berakhir, Kobar mengajak semua orang untuk duduk dan merenung. "Berdamai dengan kenangan tidak berarti melupakan. Kita harus menghargai yang telah pergi dan mengingat semua hal indah yang telah mereka bawa ke hidup kita."

Rijal menambahkan, "Betul! Kita bisa belajar dari kenangan-kenangan itu dan menjadikan kita lebih baik. Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita."

Badu merasakan kehangatan di hatinya. "Terima kasih, teman-teman. Aku merasa lebih baik setelah hari ini."

Kahar, yang berusaha keras untuk menjadi lebih emosional, menahan air mata. "Jadi, siapa yang bilang pria tidak bisa menangis? Kita semua punya kenangan yang menyentuh hati."

Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal pulang dengan perasaan bahagia, telah berdamai dengan kenangan yang selama ini menghantui mereka. Mereka tahu, meski Ciko tidak lagi ada, kenangan indah bersamanya akan selalu hidup dalam hati mereka. Dan itu adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan---menjalani hidup dengan tawa dan cinta, serta menghargai kenangan yang telah dibangun bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun