Kobar setuju, "Itu ide bagus! Kita bisa membuat banner, menyiapkan makanan, dan berbagi cerita tentang Ciko!"
Mereka pun mulai merencanakan pesta tersebut. Setiap dari mereka memiliki tugas yang berbeda. Kobar bertanggung jawab untuk membuat spanduk, Kahar mengatur konsumsi, Badu menyiapkan hiburan, dan Rijal mengundang semua orang.
Saat hari pesta tiba, warung kopi Ibu Tini penuh dengan warga desa yang datang untuk mengenang Ciko. Mereka mendengarkan cerita lucu dan mengharukan tentang anjing itu. Kobar menceritakan bagaimana Ciko selalu menggonggong saat ada orang asing mendekat.
"Dia benar-benar pelindung desa kita! Tapi juga pelawak," Kobar menambahkan, membuat semua orang tertawa.
Badu, yang awalnya cemas, mulai merasakan kebahagiaan ketika mendengar cerita-cerita itu. "Aku rasa Ciko tidak ingin kita bersedih. Dia ingin kita bahagia," ujarnya dengan senyuman.
Kahar menyarankan, "Mari kita beri penghormatan terakhir kepada Ciko dengan menyanyikan lagu yang dia suka!"
Mereka pun bernyanyi bersama. Suasana penuh tawa dan air mata bahagia, mengenang Ciko dengan cara yang penuh cinta. Badu merasa lebih ringan, seolah beban di pundaknya telah hilang.
Setelah pesta berakhir, Kobar mengajak semua orang untuk duduk dan merenung. "Berdamai dengan kenangan tidak berarti melupakan. Kita harus menghargai yang telah pergi dan mengingat semua hal indah yang telah mereka bawa ke hidup kita."
Rijal menambahkan, "Betul! Kita bisa belajar dari kenangan-kenangan itu dan menjadikan kita lebih baik. Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita."
Badu merasakan kehangatan di hatinya. "Terima kasih, teman-teman. Aku merasa lebih baik setelah hari ini."
Kahar, yang berusaha keras untuk menjadi lebih emosional, menahan air mata. "Jadi, siapa yang bilang pria tidak bisa menangis? Kita semua punya kenangan yang menyentuh hati."