Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Sufi

15 Oktober 2024   14:37 Diperbarui: 15 Oktober 2024   14:45 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu desa yang seolah terjebak dalam waktu, hiduplah empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering dianggap aneh oleh warga desa karena percaya bahwa hidup ini adalah perjalanan sufi yang penuh makna, meskipun mereka sendiri sering terjebak dalam berbagai kesulitan sehari-hari.

Suatu hari, Kobar, yang selalu bersemangat, datang dengan ide untuk menjalani "Jalan Sufi." "Geng, kita harus menemukan kedamaian jiwa! Mari kita berkeliling desa untuk berbagi kebahagiaan!" teriaknya dengan wajah berseri.

Kahar, yang skeptis, menjawab, "Kau yakin kita bisa menemukan kedamaian jiwa? Kita bahkan belum bisa menemukan uang saku untuk makan siang."

Badu, yang lebih tertarik tidur di bawah pohon, menanggapi, "Kedamaian jiwa? Bukankah itu hanya ilusi? Lebih baik kita tidur saja."

Rijal, yang selalu optimis, menyemangati, "Jangan khawatir, teman-teman! Kita akan menemukan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar tidur dan makan. Kita akan menemukan kearifan!"

Mereka pun sepakat untuk melakukan perjalanan. Dengan bekal seadanya, mereka berangkat menuju puncak bukit yang terkenal dengan pemandangannya yang menakjubkan. Dalam perjalanan, Kobar membagikan pandangan filosofisnya tentang kehidupan. "Lihatlah, sahabat! Hidup ini ibarat perjalanan, dan kita semua adalah pejalan yang mencari cahaya!"

Kahar, sambil menggerutu, berkata, "Cahaya? Aku tidak melihat cahaya apa pun selain sinar matahari yang menyilaukan mataku ini!"

Badu, yang tidak peduli dengan percakapan mereka, berhenti sejenak untuk tidur di pinggir jalan. Rijal, yang ingin membangunkan Badu, justru terinspirasi. "Kita perlu memikirkan arti tidur dalam konteks jalan sufi. Tidur adalah cara tubuh kita menemukan kedamaian!"

Setelah berjam-jam berjalan sambil bercanda, mereka akhirnya sampai di puncak bukit. Mereka duduk bersila, menghadap cakrawala yang indah. Kobar dengan semangat berkata, "Sekarang, mari kita meditasi untuk mencapai pencerahan!"

Namun, saat mereka mulai meditasi, tiba-tiba suara keras dari perut Kahar mengganggu keheningan. "Eh, aku lapar!" teriaknya, memecahkan suasana sufi yang seharusnya khidmat.

Badu, yang terbangun dari tidurnya, ikut berkomentar, "Jadi, meditasinya akan jadi lebih baik jika kita makan dulu? Mungkin kita bisa menemukan makanan sufi!"

Rijal mencoba mengarahkan kembali fokus mereka. "Kita tidak bisa teralihkan oleh hawa nafsu! Kita harus tetap pada jalan sufi ini!"

Kobar, yang tidak bisa menahan tawa, berkata, "Kau benar, Rijal! Mari kita lihat apakah kita bisa menemukan makanan yang menyehatkan jiwa."

Mereka pun mulai mencari makanan di sekitar bukit. Setelah beberapa saat, mereka menemukan beberapa buah berry liar. "Lihat! Ini adalah makanan sufi yang kita cari!" seru Kobar dengan antusias.

Namun, setelah mencoba satu berry, Kahar dengan cepat mengeluarkan mulutnya. "Aduh! Ini rasanya aneh! Kita justru lebih dekat ke jalan menuju sakit perut!"

Badu tidak bisa menahan tawa. "Jalan sufi ini semakin terasa penuh rintangan, ya?"

Rijal, yang masih berharap pada pencerahan, berkata, "Tidak apa-apa! Mungkin pengalaman ini adalah bagian dari perjalanan kita!"

Setelah berbagai insiden konyol dan kebingungan, mereka kembali ke desa. Kobar mengusulkan, "Mungkin kita harus mengubah konsep 'Jalan Sufi' kita menjadi 'Jalan Sufi dan Makan'!"

Kahar dan Badu terbahak, sementara Rijal masih berusaha mempertahankan seriusnya. "Tetapi, kita harus ingat, perjalanan ini lebih dari sekadar mencari makanan. Ini tentang pengalaman!"

Akhirnya, mereka kembali ke rumah masing-masing dengan perut lapar, tetapi hati penuh tawa. Mereka menyadari bahwa meski mereka berusaha mencari kedamaian jiwa, terkadang kebahagiaan itu datang dari kebersamaan dan tawa.

Sejak saat itu, mereka dikenal sebagai "Tim Sufi," bukan karena mereka mencapai pencerahan, tetapi karena mereka menemukan kebahagiaan dalam perjalanan yang penuh humor. Jalan sufi mereka mungkin tidak berjalan sesuai rencana, tetapi setidaknya, mereka memiliki cerita lucu untuk diceritakan kepada semua orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun