Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bumdes: Bisnis Umum Masyarakat Desa

11 Oktober 2024   23:40 Diperbarui: 11 Oktober 2024   23:41 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Desa Makmur, ada sebuah program yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat: Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal, empat sahabat yang selalu siap menghadapi keseruan, tidak ketinggalan untuk ikut ambil bagian. Namun, yang mereka temukan lebih konyol daripada yang dibayangkan.

Suatu pagi, di pos ronda yang menjadi markas mereka, Kobar membuka pembicaraan. "Eh, kalian tahu nggak, Bumdes kita mau buka usaha baru? Rumor-rumornya sih, kita mau buka warung kopi!"

Kahar mengerutkan dahi. "Warung kopi? Di desa kita yang jarang ada orang nongkrong? Apa nggak lebih baik jualan sembako aja?"

Badu tertawa. "Iya, lagipula, siapa yang mau ngopi sambil menunggu truk barang datang? Belum tentu ada yang beli kopi kita!"

Rijal, yang biasanya pendiam, tiba-tiba bersemangat. "Tapi bayangkan, kita bisa jadi tempat ngumpul anak muda! Kopi kita bisa jadi legendaris. Misalnya, 'Kopi Gagal Bisnis', karena semua yang kita coba selalu gagal!"

Mereka semua tertawa, dan Kobar berteriak, "Kita bisa buat promo! 'Beli satu, gratis satu, jika Anda juga membawa pulang satu!'"

Namun, tidak lama kemudian, berita tentang pembukaan warung kopi Bumdes tersebut sampai ke telinga warga desa. Beberapa orang menyambut dengan antusias, tetapi banyak yang meragukan kemampuan mereka dalam menjalankan usaha ini.

"Eh, kalian yakin bisa? Yang di desa ini saja sudah banyak yang bangkrut," kata Bu Rina, salah satu warga yang skeptis. "Belum tentu mereka bisa bikin kopi enak."

"Jangan khawatir! Kita akan kasih pelatihan! Pasti bisa," kata Kahar dengan percaya diri. "Bukan soal enak atau nggaknya, tapi soal branding!"

Hari pembukaan pun tiba. Dengan banner besar bertuliskan "Kopi Makmur: Rasa yang Mengguncang Dunia!", mereka siap menyambut pengunjung. Namun, ternyata yang datang hanya segelintir warga.

"Bumdes ini sebenarnya apa sih? Apa kita mau jualan atau cuma jadi tempat ngumpul?" tanya Badu, melihat pengunjung yang sedikit.

Kobar menghela napas. "Mungkin kita perlu strategi marketing yang lebih menarik. Misalnya, 'Kopi gratis untuk yang datang dengan baju merah' atau 'Diskon untuk yang bisa joget di depan warung!'"

Rijal mengangguk. "Atau, kita bisa adakan lomba. Siapa yang bisa bikin latte art paling jelek, dia yang dapat kopi gratis sebulan!"

Hari berganti, usaha Bumdes kopi tak kunjung membaik. Masyarakat lebih memilih warung kopi di kota yang sudah terkenal, dan dalam waktu singkat, warung kopi Bumdes mulai terlupakan.

Suatu hari, Kobar melihat papan pengumuman di kantor desa. "Lihat ini! Mereka akan mengadakan rapat untuk mengevaluasi Bumdes kita," katanya kepada yang lain. "Kayaknya, kita perlu datang dan mempertahankan usaha kita."

Di rapat itu, banyak warga yang mengeluh. "Bumdes ini hanya buang-buang uang! Kita seharusnya fokus pada usaha yang lebih bermanfaat," keluh Pak Darto.

Kahar berusaha berbicara. "Tapi, kami percaya kita bisa perbaiki semuanya! Kami punya banyak ide kreatif!"

Badu menambahkan, "Mungkin kita bisa jualan yang lebih sesuai dengan kebutuhan warga. Misalnya, beras, sayuran, atau bahkan kursus memasak!"

Rijal yang biasanya pendiam berani bersuara, "Kenapa tidak kita buat Bumdes menjadi pusat kreativitas? Misalnya, mengadakan pelatihan membuat kerajinan tangan atau bahkan memasak? Itu pasti lebih berguna!"

Warga mulai terlihat tertarik dengan ide-ide baru tersebut. Kobar melihat ada harapan. "Dan kita bisa buat warung juga! Bukan hanya kopi, tapi semua produk lokal! Kita bisa beri nama 'Warung Makmur: Pusat Kerajinan dan Kopi!'"

Setelah perdebatan panjang, Bumdes sepakat untuk bertransformasi. Mereka mulai mengadakan pelatihan dan membuka lapak untuk produk lokal. Seiring berjalannya waktu, warung Bumdes mulai dikenal sebagai tempat untuk mendapatkan kerajinan dan kuliner lokal.

Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal pun menyadari bahwa kunci keberhasilan sebuah usaha bukan hanya pada ide yang aneh atau unik, tetapi juga pada kebutuhan dan harapan masyarakat. Kini, mereka bangga melihat Bumdes yang berhasil mempersatukan warga desa dengan semangat kreativitas dan kerja sama.

Di pos ronda, Kobar menutup ceritanya. "Jadi, Bumdes itu bukan hanya tentang mengumpulkan uang, tapi juga tentang mengumpulkan ide dan harapan."

Kahar mengangguk setuju. "Kita belajar dari kesalahan, dan yang terpenting, kita tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi desa."

Dengan tawa dan semangat baru, mereka merayakan keberhasilan Bumdes, menyadari bahwa dalam setiap kegagalan, ada pelajaran berharga yang dapat diambil, dan dalam setiap usaha, ada potensi untuk sukses

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun