Rijal menggelengkan kepala. "Bor, kalau kamu serius jaga kampung, kita harus fokus pada keamanan, bukan fokus ke rumah satu orang saja. Lagipula, ronda itu tugas bersama, bukan ajang rebutan perhatian."
Namun, Kobar tampak tak menggubris nasihat Rijal. Ia terus berusaha mendekati Bu Sumi dengan alasan-alasan "keamanan." Setiap malam, ia lebih sering patroli ke arah rumah Bu Sumi, mengetuk pintu untuk memastikan keadaan baik-baik saja, dan bahkan menawarkan untuk membetulkan lampu teras yang katanya mulai redup.
Tingkah Kobar ini akhirnya membuat seantero kampung mulai bergunjing. Bahkan, Pak RT sampai turun tangan karena ada keluhan dari warga lain bahwa Kobar terlalu sering nongkrong di dekat rumah Bu Sumi. Tak butuh waktu lama, gosip di warung-warung kopi mulai beredar: "Ronda jaga janda" menjadi bahan tertawaan warga kampung.
Suatu malam, saat sedang ronda seperti biasa, Kobar dengan semangat seperti biasa hendak menuju rumah Bu Sumi. Namun, kali ini Kahar, Badu, dan Rijal menahannya.
"Bor, kita harus bicara serius," kata Kahar sambil melipat tangan di dada.
Kobar mengerutkan kening. "Serius kenapa?"
"Kamu udah keterlaluan, Bor," kata Badu, sambil menatap tajam. "Ronda itu buat jaga kampung, bukan buat jaga satu orang. Warga mulai ngomongin kamu, malah katanya kamu lebih sering ngelilingin rumah Bu Sumi daripada ronda beneran."
Rijal menambahkan, "Kita di sini buat jaga keamanan bersama, bukan buat cari kesempatan. Kalau kamu terus begini, bisa-bisa Bu Sumi malah merasa terganggu."
Kobar terdiam, tersadar bahwa sikapnya sudah mulai mencolok. Ia menatap teman-temannya dan menghela napas panjang. "Aku gak sadar udah sejauh ini. Niatku sebenarnya cuma pengen bantu."
"Bor," kata Rijal dengan lembut, "niat baik itu harus dilakukan dengan cara yang benar juga. Kalau kamu benar-benar peduli sama Bu Sumi, lebih baik bantu dia tanpa bikin dia merasa risih. Dan jangan lupa, kita juga punya tanggung jawab ke seluruh kampung, bukan cuma satu orang."
Kobar tersenyum kecut. "Kalian benar. Aku terlalu terbawa suasana."