Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Empat Sekawan dan Kekayaan Terlupakan

11 Oktober 2024   17:34 Diperbarui: 11 Oktober 2024   17:56 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kampung bernama Kampung Buntu, ada empat sekawan yang selalu nongkrong di warung kopi pinggir jalan setiap sore. Mereka adalah Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Masing-masing punya cerita hidup yang unik, tapi yang paling menarik adalah Kobar. Kobar, setelah memenangkan arisan kampung terbesar se-Kecamatan, mendadak jadi kaya raya. Sayangnya, kekayaan itu naik ke kepalanya lebih cepat dari asap kopi yang mereka nikmati.

Kobar kini tak lagi datang ke warung dengan sandal jepit usang. Ia muncul dengan sepatu mengkilap, pakaian merek luar negeri, dan kacamata hitam yang entah kenapa selalu dipakai meski sudah petang. Di depan warung, ia memarkir motornya yang baru---motor gede, hasil cicilan 48 bulan, yang suaranya seperti helikopter ketika dinyalakan.

"Ah, Kobar makin gaya aja nih!" seru Kahar, menertawakan sahabatnya.

"Ya iyalah, beda dong! Sekarang aku orang berada, gak kayak kalian yang masih kering dompetnya," sahut Kobar sambil menepuk-nepuk perutnya yang mulai mengembang karena terlalu sering makan di restoran mahal.

Badu yang biasanya pendiam hanya mengangguk-angguk sambil menghirup kopi panasnya. "Tapi ya, Bor," ucapnya akhirnya, "kaya bukan berarti harus sombong juga."

Rijal yang terkenal paling bijak di antara mereka menambahkan, "Iya, kaya itu ada di hati, bukan di barang-barang."

Kobar mendengus keras. "Ah, kalian cemburu saja! Lihat nih, jam tangan saya! Bukan main, ini asli impor, harganya cukup buat beli motor kalian semua!"

Kahar tertawa terbahak-bahak. "Iya, Bor, kita gak iri kok. Cuma heran aja, kenapa baru punya satu motor gede, jam tangan mahal, udah langsung ngomongin soal kekayaan?"

Kobar tersenyum merendahkan, mengeluarkan dompet tebal dari saku belakangnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang besar. "Ini, uang segar. Tahu gak? Beli barang begini tuh gampang kalau punya duit. Beda sama kalian, beli kopi aja minta ngutang!"

Rijal, yang dari tadi tampak tenang, akhirnya menatap Kobar tajam. "Bor, kita ini teman. Bukan soal siapa yang lebih kaya, tapi bagaimana kita bisa saling menghargai. Tapi kalau kamu mau bicara soal kekayaan, ingat satu hal---kekayaan tidak akan bertahan lama kalau yang punya tidak tahu cara menghargainya."

Kobar mengangkat alis, merasa tertantang. "Oh ya? Apa buktinya?"

Rijal tersenyum. "Bukti nyatanya ada di kita semua di sini. Lihat Kahar, dia mungkin tidak punya motor gede seperti kamu, tapi dia selalu bisa menolong orang-orang di kampung ini dengan tenaganya. Badu, meski sederhana, setiap hari bisa berbagi cerita bijak yang bikin orang-orang senang. Dan aku? Aku mungkin tak sekaya kamu, tapi setidaknya aku tahu cara menghargai apa yang kumiliki."

Kahar menyela, "Lagipula, Bor, kaya itu cuma sementara. Sombong itu bisa bikin kamu kehilangan lebih banyak dari sekadar uang."

Kobar terdiam, merasa tersindir, tapi tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia tertawa kecil. "Ah, kalian ini memang nggak paham dunia orang kaya. Tapi tenang saja, suatu saat kalian pasti akan mengerti."

Hari semakin larut, dan Kobar pamit duluan. Dengan bangga, ia menyalakan motornya yang berisik dan melaju pergi, meninggalkan debu di belakangnya.

Beberapa bulan berlalu. Kabar tentang Kobar semakin jarang terdengar. Hingga suatu hari, ketiga sekawan duduk lagi di warung, menikmati sore yang biasa. Tiba-tiba, Kobar datang. Kali ini tanpa motor gede, tanpa pakaian mewah, hanya dengan sandal jepit dan kaos yang terlihat usang.

"Bor, kemana motormu?" tanya Badu, kaget.

Kobar tersenyum kecut. "Motor? Dijual. Cicilannya udah nggak kuat. Jam tangan juga udah hilang, gadai buat bayar utang. Ternyata, kalian benar. Kekayaan itu cuma sementara."

Rijal, Kahar, dan Badu saling pandang dan tersenyum. "Gak apa-apa, Bor," kata Rijal. "Yang penting, kamu masih punya kita. Sombong boleh hilang, tapi persahabatan? Itu yang paling berharga."

Kobar mengangguk, kali ini dengan rendah hati. "Benar. Aku lupa satu hal. Kaya itu bukan soal barang, tapi soal menghargai orang-orang di sekitar kita."

Mereka berempat tertawa bersama, dan Kobar akhirnya menyadari bahwa kekayaan yang paling berharga adalah persahabatan yang tidak ternilai harganya.

Sore itu, di warung kopi kecil, Kobar kembali menjadi Kobar yang dulu---sahabat yang setia, tanpa gelimang harta yang membebani pikirannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun