"Setuju! Tapi kita harus pastikan puisi kita terdengar romantis dan mengagumkan!" Badu menambahkan, sambil mulai menulis di buku catatannya.
"Eh, kita harus tampil di depan kelas untuk membacakannya!" Rijal berkata dengan semangat, yang membuat yang lain mengangguk.
Malamnya, mereka mempersiapkan puisi dengan sepenuh hati. Keesokan harinya, mereka maju ke depan kelas saat pelajaran berlangsung.
"Bu Rina, kami ingin membacakan puisi untuk Ibu!" Kobar berkata dengan percaya diri.
"Silakan!" Ibu Rina tersenyum, tampak antusias.
Dengan suara penuh percaya diri, Kahar mulai membacakan puisi. "Di pagi hari, kau bagaikan sinar mentari, menembus kabut di hati kami..." Dia berusaha terlihat sangat serius, tetapi teman-temannya sudah tidak bisa menahan tawa.
Badu melanjutkan, "Setiap kata yang kau ucapkan, bagaikan lagu indah yang menari di telinga kami..." Di tengah-tengah, dia melirik Ibu Rina, dan semua siswa mulai berbisik penuh kekaguman.
Rijal menutup puisi dengan, "Ibu Rina, kami akan belajar dengan sepenuh hati, agar kelak bisa menjadi seperti Ibu!"
Ketika puisi selesai, semua siswa bertepuk tangan, sementara Ibu Rina tersenyum lebar. "Terima kasih, anak-anak! Puisi kalian sangat indah!" Dia terlihat terharu.
Kobar yang merasa berhasil berinisiatif bertanya, "Bu, bisa kita dapatkan pelajaran tambahan tentang puisi? Biar kami bisa menulis lebih banyak untuk Ibu!"
Ibu Rina mengangguk dengan senyum. "Tentu saja! Kita bisa membuat kelas puisi setiap minggu!"