Hari pertama sekolah pun tiba. Dengan antusias, mereka menyiapkan papan tulis yang dicat seadanya dan kursi-kursi kayu yang sudah usang. "Selamat datang di Sekolah Konyol! Hari ini kita akan belajar tentang cara mendapatkan uang saku!" Kobar berkata dengan penuh semangat.
Kahar mulai memimpin pelajaran pertama. "Anak-anak, langkah pertama untuk meminta uang saku adalah dengan senyum manis seperti ini!" Dia menunjukkan senyumnya yang dibuat-buat.
"Jangan lupa, tingkatkan volume suara saat meminta, seperti ini: 'Bunda, uang sakunya mana?'" Badu menambahkan, menirukan gaya bicara seorang anak yang manja.
Rijal yang tak mau kalah, beraksi di depan. "Kita juga harus berdoa sebelum meminta! Agar Tuhan mendengar permohonan kita!" serunya, sambil melipat tangan.
Tiba-tiba, datanglah Ibu Tini, ibu salah satu anak di desa. "Apa ini? Sekolah Konyol? Apakah kalian serius?" tanyanya dengan nada mencemooh.
Kobar menjawab, "Tentu saja! Kami mengajarkan pendidikan gratis yang praktis dan nyata!"
Ibu Tini tertawa. "Kalau begitu, ajarkan juga cara membuat tugas rumah dengan cepat, ya! Saya punya banyak PR yang belum selesai!"
Di tengah diskusi itu, Kahar yang merasa tertekan oleh tuntutan tersebut, langsung berkata, "Tunggu! Bagaimana kalau kita adakan ujian? Ujian tentang kehidupan nyata!"
Mereka pun sepakat untuk mengadakan ujian. Setiap siswa harus memberikan presentasi tentang 'Cara Meminta Uang Saku' dengan gaya terbaik.
Saat ujian dimulai, anak-anak berbaris satu per satu. Yang pertama maju adalah Lala, anak kecil yang manis. "Ibu, uang saku hari ini... karena saya sudah belajar dengan rajin!" serunya sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
Semua tertawa, termasuk Ibu Tini yang terpaksa menahan tawa. Lala berhasil mendapatkan pujian dari semua orang.