Badu tidak ingin ketinggalan. "Dia bilang, 'Saya berjuang untuk kesejahteraan rakyat!' Tapi pas disuruh menyentuh tanah desa, dia malah bilang, 'Nanti, nanti, saya sibuk!'"
Setelah beberapa waktu mencatat dan tertawa, mereka sepakat untuk menyusun profil komprehensif tentang para wakil rakyat ini. Kobar menyarankan, "Mari kita buat poster yang keren untuk mereka! Ini akan jadi proyek kita!"
"Dan kita akan mencetaknya di kertas paling jelek yang kita temukan!" Kahar bersemangat.
Setelah semua selesai, mereka pun mencetak poster yang berisi gambar para wakil rakyat dengan deskripsi konyol di bawahnya. Misalnya, untuk Pak Joko, tertulis, "Wakil Rakyat yang Mendengar Suara Rakyat... dan Ayam!"
Hari berikutnya, mereka menggantung poster-poster itu di pusat desa. Warga desa yang melihat tidak bisa menahan tawa. Ibu Siti yang lewat berkata, "Apa ini? Profil wakil rakyat? Ini parodi yang luar biasa!"
"Ayo, mari kita pilih wakil rakyat yang benar-benar peduli!" teriak Kahar.
Di tengah tawa dan sorak-sorai, muncul Pak Joko dan Ibu Siti. Melihat poster tersebut, Pak Joko tersenyum sambil berkata, "Bagus juga! Ini jadi pengingat kita bahwa kita harus lebih mendengar suara rakyat!"
Ibu Siti menambahkan, "Saya setuju! Mari kita perbaiki cara kita berkomunikasi dengan masyarakat!"
Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal pun merasa senang. Mereka berhasil menyampaikan pesan dengan cara yang menghibur. "Ternyata, parodi ini bisa membawa perubahan positif!" Rijal berkata, mengakhiri diskusi mereka.
Akhirnya, di tengah tawa, mereka menyadari bahwa dengan humor, mereka bisa menggugah kesadaran dan membangun komunikasi yang lebih baik antara wakil rakyat dan rakyat. Dalam dunia politik yang kadang konyol, tawa bisa menjadi jembatan yang menghubungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H