Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Langit Terminal Kota

25 Agustus 2024   16:26 Diperbarui: 25 Agustus 2024   16:29 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah sudut kota kecil yang sibuk, di tengah hiruk-pikuk terminal yang tak pernah sepi, hiduplah seorang pemuda bernama Amin. Ia dilahirkan dari keluarga miskin di pinggiran kota, sebuah keluarga yang sangat sederhana namun penuh kasih sayang. Meski hidup dalam keterbatasan, Amin memiliki kecerdasan yang jauh di atas rata-rata. Nilai-nilai akademisnya selalu menonjol, namun sayang, kemiskinan membuatnya sulit untuk meraih mimpi-mimpinya.

Saat SMA, keadaan semakin sulit. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar jatuh sakit, dan ibunya yang bekerja serabutan tak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Tak ingin menjadi beban, Amin mengambil keputusan berani: ia menjadi pengamen di terminal kota. Setiap hari sepulang sekolah, ia membawa gitar tuanya dan bernyanyi dari bus ke bus, mengais rezeki demi sesuap nasi untuk keluarganya.

Terminal itu mengubah Amin. Di sana, ia belajar tentang kerasnya hidup, tentang manusia-manusia yang tak segan menghardiknya ketika suaranya terdengar sumbang, atau mereka yang dengan kasar menolak kehadirannya. Semula, Amin adalah seorang pemuda pendiam yang lebih suka menyendiri dengan buku-bukunya, tetapi kerasnya kehidupan di terminal memaksanya untuk berubah. Ia belajar bertahan, belajar menjadi reaktif, membalas setiap hinaan dengan tegar, melawan setiap ancaman dengan keberanian. Terminal mengajarinya untuk tidak tunduk pada keadaan, untuk berjuang dan bertahan hidup.

Setelah lulus SMA, Amin menyadari bahwa masa depannya tak bisa terus menerus dihabiskan di terminal. Dengan tekad bulat, ia mendaftar seleksi CPNS, berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Doa dan kerja kerasnya terjawab; ia diterima. Namun, kegembiraannya tak bertahan lama. Meski namanya tercantum dalam daftar peserta yang lolos, surat keputusan (SK) yang ditunggu-tunggu tak pernah datang. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan Amin pun harus menelan pil pahit kenyataan: ia belum benar-benar diterima sebagai PNS.

Kecewa, namun tak mau menyerah, Amin kembali mengadu nasib di terminal, kali ini dengan rasa sakit yang lebih dalam. Namun, dua tahun kemudian, kesempatan kedua datang. Amin kembali mengikuti tes CPNS dengan semangat yang membara. Ia tak membiarkan kegagalan masa lalu mematahkan semangatnya. Dan kali ini, doa dan usaha kerasnya berbuah manis. Ia resmi diangkat sebagai PNS, dan perlahan, hidupnya mulai membaik.

Dengan penghasilan yang lebih stabil, Amin mulai merencanakan masa depannya. Ia menikah dengan seorang perempuan yang sangat ia cintai, seorang wanita yang juga datang dari kehidupan yang sederhana. Bersama, mereka membangun rumah tangga yang bahagia. Kehadiran empat anak melengkapi kebahagiaan mereka, dan bagi Amin, inilah masa-masa terbaik dalam hidupnya. Ia merasa bahwa segala perjuangannya di masa lalu tak sia-sia. Rumah kecil mereka penuh dengan canda tawa anak-anak, dan setiap malam, Amin selalu merasa bersyukur atas kehidupan yang telah ia raih.

Namun, kehidupan ternyata tak selalu adil. Pada tahun kesepuluh pernikahannya, badai besar menghantam kehidupan Amin. Seminggu setelah ayahnya wafat karena sakit yang sudah lama dideritanya, istri tercinta menyusul ayahanda ke haribaan-Nya. Sepulang dari peringatan 7 hari ayahanda, sang istri merasakan demam dan muntah, hingga berinisiatif ke rumah sakit untuk minta diinfus. Rumah sakit tempat ia dirawat melakukan malpraktik yang fatal, dan istrinya tak pernah pulang. Dalam sekejap, Amin kehilangan dua orang yang paling ia cintai dalam hidupnya.

Duka itu begitu mendalam, hingga untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Amin merasa patah. Tetapi ia tahu, ia tidak bisa terpuruk terlalu lama. Masih ada empat anak yang harus ia besarkan, yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Dengan hati yang hancur, Amin berjuang bangkit kembali. Ia belajar menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya, memberikan semua yang ia bisa agar mereka tetap merasa dicintai dan dilindungi.

Setiap hari adalah perjuangan baru bagi Amin. Ia harus mengisi kekosongan yang ditinggalkan istrinya, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sambil tetap bekerja. Ia menemani anak-anaknya belajar, mendengarkan cerita-cerita mereka, dan berusaha menjadi pelipur lara bagi mereka, meski hatinya sendiri sedang diliputi kesedihan yang dalam. Amin tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu, ia harus kuat. Demi anak-anaknya. Demi masa depan mereka.

Di bawah langit terminal kota, di mana ia dulu mencari nafkah, Amin kembali berdiri. Kali ini, ia tidak membawa gitar tua. Kali ini, ia membawa harapan dan kekuatan baru, berjanji untuk tidak pernah menyerah pada hidup, untuk terus berjuang, seperti dulu ia pernah berjuang, meski hidup tak selalu memberikan yang terbaik. Ia menatap langit, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum. Meskipun badai telah menghantamnya, ia tahu ia akan bertahan, karena ia adalah pejuang sejati.

"Duka lara datang hanya untuk menguatkan, bertahanlah "

Untuk anak - anakku tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun