Mohon tunggu...
Media Partner
Media Partner Mohon Tunggu... Konsultan - news, event and education

news, event and education group

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Aromanya Tak Senikmat Digital Book, Tapi..."

16 September 2017   22:06 Diperbarui: 16 September 2017   22:26 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku tersebut disebut sebuah halaman.

Sengaja saya jelaskan pengertian buku yang bersumber dari wikipedia barangkali diantara kita sudah lupa definisi buku. Kini Era digital semakin menggila, untuk mencari sebuah definisi, referensi mungkin tidak lagi diperlukan buku atau datang ke perpustakaan, tinggal gunakan smart phone ditangan dan seketika kita dapat menjelajah dunia. Dahulu kala ketika saya masih di Sekolah Dasar, Ibu Guru selalu bilang "Buku adalah jendela dunia." Kini?

Dari beberapa perjalanan saya bersama para Relawan Membaca 15 Menit ke berbagai Provinsi di Indonesia memang menegaskan bahwa minat membaca masyarakat kita ini tidak selalu rendah, akan tetapi akses untuk mereka membaca mungkin sedikit sulit. Pernah dalam satu waktu kami mengirimkan buku ke Fakfak Papua Barat, luar biasa biaya yang harus kami keluarkan (saat itu belum ada program Pemerintah tnetang Gratis Kirim Buku), tetapi berkat filantropi seorang relawan buku itu pun tiba di titik yang dituju, ia kemudia bercerita pada saya "anak-anak disini haus akan membaca, sesampainya buku-buku ini mereka berlarian menghampiri saya untuk segera membacanya". Buku yang kami kirimkan adalah buku-buku dari Yayasan Literasi Anak Indonesia dan Litara-Yayasan Litearsi Anak Nusantara yang focus kepada gerakan membaca.

Disisi lain, seorang dosen muda memaparkan bahwa ia senang sekali membaca bahkan ia bisa hafal/ingat isi disetiap halaman demi halaman dari buku-buku yang ia pernah baca. Hingga akhirnya ia dihadapkan pada kabar bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat membaca yang rendah (berdasarkan studi "Most Littered Nation In the Word"; Central Connecticut State University pada Maret 2016) dan kemudian tergerak untuk menghimpun para relawan membaca (Relawan Membaca 15 Menit didirikan oleh Gufron Amirullah saat itu) yang sekaligus menjawab Permendikbud tentang Gerakan Membaca 15 Menit.

Secara pribadi jika diperbolehkan menuliskan tentang minat membaca dan buku maka akan saya tulis "buku mahal bagaimana saya mau baca?" yang kemudia akhir-akhir ini mendapat kritik dari berbagai literat tentang eksistensi buku cetak, ada seorang penulis yang seolah tidak mau lagi menulis buku karena buku di pasaran mahal (oleh pajak dan lainnya tetapi seperti tak begitu berdampak pada finansial para penulis), tidak semua penulis sepakat akan itu. Namanya dinamika literasi, berbagai cara baik untuk emgajak masyarakat Indonesia mau membaca.

Dalam kesempatan lain, saya pernah menyampaikan bahwa era digital akan semakin menggila. Kenapa? Anak-anak atau para gernerasi milinea memang seolah enggan menggenggam buku, merela lebih nyaman dengan smart phone digenggamannya. Akan berdampak positif atau negatifkah pada perkembangan mereka dan perkembangan Literasi di Indonesia? Bolehlah nanti kita diskusinkan dilain waktu.

Baru-baru ini saya mendapatkan buku dengan judul "Suara dari Marjin" yang di tullis oleh Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningsih. Dalam bukunya, tepat dihalaman 25 seorang Sofie menuliskan tentang pengalaman Literasinya, ada bagian yang menarik dan menambah semangat Literasi saya, "Saya mencintai aksara sehingga saya menuliskannya di tembok rumah eyang saya. Tembok itu merekam perubahan huruf b, k, f, l dari kalimat, lalu bait-bait pusi". 

Pengalaman sang doktor lulusan University of Melbourne, Australia bisa jadi dialamai oleh anak-anak kita di rumah saat mereka mulai gemar mencoret-coret dinding rumah dengan crayon yang membentuk huruf bahkan gambar atau hanya sekedar garis (jadi teringat Althaf dan Danesh di rumah), hehehe.

Sabar sejenak, kenapa saya menulis judul "Aromanya tak Senikmat Digital Book, Tapi..."? alasannya sederhana mungkin, saya menikmat buku meski belum bisa dibilang pecandu buku atau seorang penulis buku karena biasanya hadiah dari sebuah kemahiran dalam membaca adalah bisa menjadi seorang penulis. Saat ini dunia digital mengubah cara membaca buku di kalangan masyarakat, e-book memang bukan barang baru, meski saya tidak menyebutkan tahun berapa Indonesia pertamakali disusupi oleh elektronik book atau buku tanpa kertas, paling tidak e-book ini lambat laun bahkan akan semakin pesat menjadi sebuah trend dikalangan generasi muda saat ini.

Aromanya tak senikmat buku tanpa kertas, kenapa? Entah ini ritual atau apalah namanya, saya memiliki kebiasaan sebelum membaca buku-buku yakni mencium/menghirup aroma kumpulan kertas-kertas itu dan kemudian menikmatinya dengan sedikit kopi atau teh tanpa pemanis. Luar biasa, buku apa pun itu seolah memiliki aroma yang berbeda-beda layaknya kopi-kopi nusantara yang disajikan di kedai-kodai itu. Bukan menolak atau anti buku tanpa kertas, saya pun sesekali merasakan nyaman saat membaca buku melalui smart phone dalam genggaman tetapi tetap berusaha menyeimbangkan antara membaca buku versi cetak dengan digital book.

Diakhir tulisan ini saya merasa ingin menyentuh kembali paragraf ke tiga tentang sulitnya akses membaca, dalam hal ini Perpustakaan memiliki peranan penting dalam budaya membaca masyrakat kita, meski tidak banyak pengunjung perpustakaan di setiap harinya perpustakaan selalu berusaha membuat inovasi agar minat membaca meningkat, dan ini harus kita acungi jempol terlebih Pemerintah membuat program Gratis mengirim buku di tanggal 17 setiap bulannya yang tujuannya pun sejalan dengan para relawan/komunitas di lapangan yang dengan semangatnya mereka mewakafkan diri, 

waktu dan bahkan finansial agar minat membaca masyarakat Indonesia meningkat pesat bahkan di era digital inilah e-book menjadi pilihan tersendiri bagi para pembaca untuk menikmati kebiasaannya membaca. 

Aromanya tak senikmat buku tanpa kertas memang harus diakui, semoga masih banyak para pembaca buku yang lebih menikmati dengan versi cetak, masih banyak penulis yang mau menerbitkan buku, tidak ada lagi toko buku yang tutup, tidak ada lagi perpustakaan yang sepi pembaca. Selamat berjuang buku versi cetak dan selamat bergabung buku-buku tanpa kertas, semoga kehadiranmu akan meningkatkan angka minat membaca lebih baik, masyarakat berkarakter dan tentunya tetap ada dalam gerakan filantropi. Salam Literasi, Relawan Membaca 15 Menit.

Oleh: Budi Firmansyah*

*Sekjen Relawan Membaca15menit, CEO prabudatmedia.id

instagram.com/@budiadf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun