Sungai kecil berbatu. Gemericik air bening menyapu lembut telinga. Sono duduk di gubuk bambu menikmati silir-semilir angin mengusap wajahnya.
Matanya memandang padi menguning menghampar. Sesekali tangannya santai menarik-narik tali, yang terhubung dengan orang-orangan sawah nun jauh di sana. Sono tersenyum melihat burung-burung beterbangan.
***
Desa nan asri. Pepohonan. Persawahan. Sungai mengalir tanpa sampah. Air bening. Alam hening, baik ketika siang maupun langit berbintang.
Kecuali hasil pembakaran jerami kering, jauh dari permukiman yang tiap-tiap rumahnya memiliki pekarangan luas, tidak mengudara asap mesin menyesaki udara bersih. Tiada suara knalpot brong bersicepat tanpa mengalah, atau kendaraan beroda empat pating seliwer melindas jalan tanah berbatu.
Hanya sepeda geyal-geyol dengan putaran pedal lambat melintas. Sesekali pesepeda berpapasan dengan dokar ditarik dua ekor sapi berjalan perlahan. Mereka berhenti. Bercakap-cakap akrab dan lama bagaikan tiada lagi hal diburu-buru.
Takada sibuk. Warga tidak pernah, dan tidak akan pernah terburu-buru menuju suatu tempat. Tidak ada alasan lalu lintas mampat, karena memang dalam hidupnya mereka tidak mengenal kata macet, kecuali berhenti secara sukarela berhubung rombongan itik memotong jalan.
Warga desa menikmati waktu penuh rasa syukur dan terukur. Tiada perburuan, apalagi perebutan waktu. Siang bekerja di sawah atau ladang, atau mencari ikan di telaga. Malam, istirahat. Bukan sibuk mencari penghidupan.
"Bila kita berusaha, rezeki sudah ada yang mengatur. Buat apa buru-buru?"
Hidup berirama lambat. Lamban, menurut pemikiran maju Sono. Pria yang baru saja melewati masa remaja itu jenuh dengan kehidupan desa yang serba lambat. Boleh jadi, cara berpikirnya terlalu cepat bagi kebanyakan orang desa. Bagi orangtuanya.