Melemahnya daya beli masyarakat merembet ke berbagai sektor. Dampaknya mengalir sampai jauh (dikutip dari lagu "Bengawan Solo").
SETELAH berjalan kaki, mengaso di lapak penganan sarapan adalah menguping perbincangan hangat antar pelanggan, selain menikmati hidangan. Bila merasa terhubung, bolehlah turut menimbrung. Saya mampir, beristirahat dan menyantap dua potong tempe. Terakhir, menyeruput kopi hitam seduh.
Bagian dari sebuah halaman rumah digunakan sebagai lapak penjualan penganan sarapan: nasi uduk, mi glosor, bihun goreng, lontong sayur, dan gorengan. Kopi seduh juga tersedia. Pembelinya merupakan tetangga, orang lewat, pengantar anak sekolah, dan sebagainya.Â
Dua pembeli yang sudah lebih dulu datang sedang berbincang seru, tentang penurunan usaha pada belakangan ini. Mereka adalah tetangga dari penjual penganan sarapan.
Satu orang, bernama Ebed, bekerja sebagai freelance retailer atau salesman tak terikat dengan perusahaan tertentu. Ia memasok lampu LED ke toko dan warung-warung dengan wilayah jelajah Bogor hingga Sukabumi.
Ebed mengatakan, belakangan order dari pelanggan kian berkurang. Otomatis, jumlah penghasilan --yang diharapkan dari selisih harga-- turun, sementara ada kecenderungan harga kebutuhan naik.
Satu lagi bernama Apong, pengusaha percetakan yang mengontrak rumah di seberang lapak penganan sarapan. Bangunan bertingkat itu menjadi tempat tinggal sekaligus ruang kerja/pamer untuk design, printing, finishing.
Menanggapi pernyataan Ebed, Apong mengatakan pengalaman serupa, bahwa omzet usahanya menurun sejak bulan Oktober lalu. Namun, ia masih memiliki pelanggan tetap, yaitu satu BUMN dan IPB Press. Cukuplah untuk menutup biaya produksi, gaji karyawan, biaya operasional, dan untuk biaya sehari-hari keluarga.
Saat sekarang belum ada sisa lebih untuk menambah saldo tabungan, bahkan cadangan dana untuk perbaikan mesin bila rusak ikut terkikis.
Menurutnya, persaingan makin ketat dengan makin banyaknya usaha sejenis. Selain itu, Apong menduga, anjloknya omzet usaha sedikir banyak terpengaruh oleh penurunan daya beli masyarakat pada umumnya.
Saya pikir, keadaan yang dialami Apong dan Ebed bersifat kasuistik. Terbatas pada usaha mereka. Namun, gagasan bahwa penurunan usaha mereka telah terpengaruh oleh ekonomi umum menarik perhatian saya.
Apakah memang demikian?
Kompas edisi September 2024 mengatakan, dampak melemahnya daya beli mengalir sampai jauh (petikan lagu "Bengawan Solo"). Selanjutnya, disebut telah terjadi deflasi (keadaan turunnya harga barang/jasa dalam periode terbatas), di bulan Mei, Juni, dan Juli 2024. Boleh jadi terjadi lantaran pasokan barang melebihi permintaan, juga akibat menurunnya daya beli (sumber).
Dikatakan bahwa gejala penurunan daya beli tersebut diikuti penyusutan kemampuan masyarakat untuk menabung. Selanjutnya, daya beli menurun berdampak kepada degradasi permintaan atas produk dan jasa manufaktur dalam negeri.
Melemahnya daya beli masyarakat merembet ke berbagai sektor, begitu pemaknaan saya terhadap bacaan tersebut.
Apong, Ebed, dan pengusaha skala kecil lainnya tidak bisa mengubah atau mengeluhkan keadaan. Barangkali secara individual mereka senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan ekonomi. Tidak berpangku tangan, apalagi berkeluh kesah.
Ebed sudah beranjak demi menawar-nawarkan barang dagangan ke toko-toko kelontong. Saya bertanya, cara menyikapi penurunan usaha kepada Apong, yang kemudian menerangkan cara-cara sederhana sebagai berikut:
- Berdoa memohon kemudahan dalam mengejar rezeki.
- Mengurangi pembelian barang konsumtif, baik perolehan dengan tunai maupun kredit.
- Berutang hanya untuk keperluan produktif, semisal menegosiasikan pembayaran secara tempo ke toko kertas dan sebagainya.
- Bekerja seperti biasa, yaitu tepat waktu men-deliver barang pesanan, tanpa mengurangi kualitas yang disyaratkan dalam kontrak kerja.
- Meluaskan pemasaran jasa ke perusahan-perusahaan swasta, perorarangan, dan lainnya, seraya tetap menjalin hubungan baik dengan pelanggan yang ada.
- Selalu optimis demi kelanjutan usaha, membayar pegawai, dan menghidupi keluarga.
Demikian cara-cara Apong menyikapi penurunan omzet usaha yang terjadi belakangan ini. Uraian sederhana tanpa muatan teori pating njelimet.
Semoga gagasan dan pengalaman pengusaha kecil tersebut bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
***
Tak terasa uraian Apong menghabiskan secangkir kopi. Hari beranjak siang. Tiba waktu bagi saya untuk berpamitan.
Aip, pemilik lapak penganan sarapan berkemas. Tidak hanya membereskan wadah bekas dagangan, tetapi meletakkan termos isi es, air mineral, gelas-gelas, cup sealer (mesin tutup gelas plastik), blender, wadah kaca, beragam buah.
Rupanya ada pengembangan usaha. Barang dagangan bertambah dengan menjual es atau jus buah. Katanya, buka sampai malam. Menarik!
Kalau sempat, saya akan mengulasnya dalam artikel berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H