Saya mengetahui keberadaan Meta AI aplikasi Whatsapp pada Desember 2024, entah tanggal berapa, bermula dari penggunaan chatbot berbasis kecerdasan buatan itu di satu grup alumni.
Sebagian anggota WAG bertanya perihal berbagai soal kepada @Meta AI, dari mulai keterangan tentang diri atau sesesorang hingga pertanyaan-pertanyaan guyonan. Apalagi beberapa teman bertanya menggunakan Bahasa Sunda. Ngakaklah jadinya.
Ajaibnya, Meta AI dengan lempeng (polos, lurus, tanpa ekspresi) menjawab apa pun pertanyaan bahkan yang paling konyol.
Pengetahuan berikut kegembiraan itu saya bawa ke ruang percakapan sebagian dari Kompasianer, yaitu di WAG KPB (Komunitas Penulis Berbalas).
Pengenalan tersebut memantik beragam pertanyaan anggota grup, dari yang serius hingga berkesan nyeleneh. Sekali lagi, tanpa ekspresi Meta AI menanggapi segala tanya. Takada nada kesal, marah, maupun ngambek.
Ya iyalah! Meta AI menjawab secara mekanis tanpa perasaan manusiawi.
Keisengan selanjutnya, meminta Meta AI untuk membuat gambar. Permintaan melalui jalur percakapan langsung menghasilkan gambar, yang kemudian saya gunakan sebagai ilustrasi artikel yang ditayangkankan di Kompasiana.
Beberapa hari belakangan penggunaan Meta AI di WAG, yang saya ikuti, berkurang. Mungkin bosan. Barangkali teman-teman sedang menikmati liburan. Bisa jadi sebagian mengirim chat secara pribadi ke Meta AI.
Ada pernyataan menarik, AI sebagai teman curhat! Meta AI dan sebangsanya menjadi muara menumpahkan perasaan galau dan berdikusi. Sebagian orang memanfaatkan mesin sebagai tempat berbagi cerita? Opo tumon?
Mungkin saya ketinggalan mengikuti kecenderungan itu. Biarlah, toh takada pengaruhnya. Bisa jadi saya kurang terinformasi bahwa AI telah menjelma menjadi teman curhat, kayak gak ada lagi orang normal.