Jangan pula berdalih terserang daddy blues, gejala ayah yang tertekan dan cemas menghadapi kelahiran anak.
Saya curiga, laki-laki tersebut sesungguhnya malas bekerja. Lebih suka berleha-leha, berkhayal ...mak brek... uang jatuh dari langit. Sudahlah, membahas laki-laki celaka itu hanya mengakibatkan hati terbakar.
Perempuan di atas berkeliling menjual makanan matang demi menghidupi diri dan anak-anaknya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Katanya, "Nggak jualan, ya nggak makan."
Bukan sekali ini berjumpa dengan perempuan mandiri pencari nafkah. Beberapa waktu sebelumnya, saya berkunjung ke sebuah lapak penjualan hidangan sarapan.
Selama menunggu pesanan lotek (sayur matang dibubuhi bumbu kacang ulek), terdengar percakapan antara sang penjual dengan satu pembeli. Kurang lebih membincangkan tentang gugatan perceraian.
Pertimbangan sang pembeli mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama adalah, suami tidak bekerja dan malas mencari pekerjaan. Maka, perempuan itu akhirnya bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga.
Penjual pecel dan gorengan itu, Endah (34), menghadapi persoalan serupa.
Saat mampir makan bihun bumbu kacang lebih dari satu tahun lalu, saya menyaksikan perempuan itu tinggal dengan dua anak, dan ibunya yang lumpuh duduk di kursi roda akibat serangan strok. Sempat terlihat seorang pria, saya menduga sebagai suaminya, keluar rumah dan pergi naik sepeda motor,
Sekarang Endah tinggal sendiri ditemani anak bungsunya. Dapat cerita, ibunya berpulang pada bulan Oktober lalu. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Suaminya, pulang ke rumah orangtuanya di Malimpimg, Banten.
Tanya-tanya sepintas, Endah menyebut bahwa suaminya kurang bertanggung jawab dalam keuangan keluarga. Malahan, enam bulan terakhir pergi membawa anak sulung, meninggalkan istri bersama anak wanita paling kecil.