BAKDA ZUHUR. Warta dari aplikasi perpesanan instan membawa kaki ke gerai ritel modern di Stasiun Besar Bogor. Terlihat kompasianer Muthiah Alhasany sedang duduk menunggu kedatangan saya.
Saling sapa. Bersalaman. Berbincang sebentar lalu bergerak menuju halte di luar stasiun. Dengan menempelkan kartu uang elektronik pada mesin tap, naiklah kami ke BisKita Transpakuan jurusan Ciparigi hendak ke tempat makan yang sekiranya representatif.
Berhenti di halte SMPN 5 Kota Bogor. Menyeberang dan melangkah seratus meteran di jalan samping sekolah itu, maka akan terlihat rumah yang halamannya berkerikil dengan pintu jendela kaca.
Memasukinya, pandangan melekat pada lantai teraso warna terakota dan jendela dengan gerendel besi pengunci. Pada satu bagian, di atas pintu menempel alarm jadoel berwarna merah. Di belakang dan samping terdapat halaman kecil. Khas rumah baheula.
Menurut cerita, pemilik awal adalah orang Belanda. Kini dikuasai oleh orang lokal dan disewakan ke pengelola rumah makan, yang menata ruang dalam sedemikian rupa sehingga tidak "bertabrakan" dengan penampilan rumah.
Bangunan luas 100-150 meter persegi, di atas persil kira-kira 500 meter persegi, ditata dengan furnitur berwarna cerah dan pastel. Gaya minimalis yang tampak tidak berat. Enak dilihat.
Pengunjung bisa duduk di ruangan dalam berpendingin udara. Atau, duduk di bagian samping luar mengisap udara segar sambil mengembuskan asap putih. Jadi, tersedia ruangan indoor maupun outdoor.
Beberapa pengunjung memusatkan pandangan pada layar laptop yang dibawanya. Di meja berbeda, satu rombongan tamu berbaju batik mengadakan pertemuan. Dua gadis berseragam SMP bercengkerama pada satu meja.
Selain tempat duduk tamu, kamar-kamar digunakan sebagai ruang: kelas yoga; pangkas rambut; manikur pedikur; dapur yang sebagian berdinding kaca sehingga tamu bisa melihat kegiatan memasak.
Beragam buku lawas diletakkan pada rak yang di atasnya terdapat televisi tabung. Di sampingnya juga di depannya dipajang produk fesyen, yang saya duga untuk dijual.
Pada ruang tengah teletak meja memanjang yang memuat:
- Etalase kecil.
- Buku daftar menu.
- Perangkat taking order sekaligus point of sales (POS/sistem kasir).
- Mesin kopi dan bahan-bahan minuman.
Di dekatnya terdapat service station (tempat server bersiaga dan perabotan untuk pelayanan), yang pada permukaannya terletak CDJ (pemutar musik untuk disc jockey) yang tersambung dengan mixer serta penguat dan pelantang suara.
Tamu baru masuk bisa langsung memilih makanan dan/atau minuman dari buku. Bisa juga langsung duduk, server (pegawai pelayanan) akan menghampiri dan menawarkan hidangan.
Mbak Muthiah memesan Nasi Chicken Kungpao dan air mineral. Saya meminta minuman Fresh Brew, kemudian minta dibuatkan Fettucine Creamy Mushroom.
Secara keseluruhan, hidangan enak. Buktinya, dua main courses tersebut pindah ke perut masing-masing meninggalkan sendok garpu dan piring.
Saya tidak akan menceritakan pengalaman mencecap Nasi Chicken Kungpao, berhubung tidak sempat merasainya barang sedikit.
Olahan fettucine dengan krim terasa enak sekali. Sesuai ekspektasi, kendati porsinya besar untuk ukuran saya.
Mengamati sepintas, pada hidangan ala Italia ini terdapat jamur, daging asap, dan potongan ayamg digoreng krispi. Fettucine dibalur dengan cream cheese.
Menurut seorang waiter (duh, saya lupa namanya), keju krim adalah bikinan sendiri. Keju lembut tersebut membalut sempurna pasta pipih dan menguatkan seluruh rasa.
Dulu saya kerap membuat olahan fettucine dengan cheese cream beli jadi, minus jamur dan daging asap. Putri saya sangat menyukainya.
Minumnya, fresh brew. Larutan kopi yang didinginkan dalam waktu tertentu dan dicampur dengan bahan lain. Terasa sedikit rasa asam. Sesuai namanya, minuman sejenis kopi dingin ini menyegarkan raga sekaligus jiwa.
Tiba waktunya Asar. Musala di dekat halaman belakang menjadi tempat melaksanakan ibadah dan menceritakan rasa syukur, sekaligus memohon ampunan, kepada Allah.Â
Saran, agar satu ketika pengelola bisa menambahkan satu kursi bagi mereka yang melaksanakan salat dengan duduk.
Waktu sore menjelang. Hujan mulai datang. Makin deras. Mbak Muthiah memesan cappuccino demi mengusir gigil yang menghampiri.
Saya ikut memesan. Bukan kopi, melainkan Hibiscus Lemodane, teh kembang sepatu bercampur limun rasa jeruk.
Kapucino panas dan teh segar menghangatkan perbincangan. Sesekali mata menembus jendela kaca, hujan masih menyirami bumi.
Jarum jam dinding terus berkeliling. Langit tak sempat memamerkan jingganya, tahu-tahu waktu Maghrib hampir tiba. Tidak terasa kami menghabiskan waktu hampir lima jam di tempat membetahkan itu.
Tempat artistik nan nyaman untuk berlama-lama, makanan enak, minuman menyegarkan, pelayanan hangat, dan suasana menyenangkan diiringi musik lembut (jenis chilout atau RnB, saya belum tahu) dengan tingkat kenyaringan rendah. Restaurare!
Restaurere --yang menjadi cikal bakal istilah restaurant-- adalah kata dalam bahasa Perancis untuk memulihkan atau memperbarui. Rumah makan cantik itu memulihkan raga dan jiwa lelah dengan semua kenyamanan disajikan.
Tamu-tamu berdatangan tidak sekadar makan dan minum, tetapi sekalian bekerja (work from anywhere) menggunakan fasilitas WiFi; melakukan pertemuan informal; hang out (nongkrong bareng); atau pangkas rambut hingga potong kuku. Unik, sebuah konsep restoran dengan beragam fungsi!
Mudah untuk mencapainya. Dari Stasiun Besar Bogor naik BisKita satu kali, berhenti di halte SMPN 5. Menyeberang lalu menyusuri jalan di samping sekolah menengah tersebut. Tak jauh akan terlihat rumah berwarna mayoritas putih dengan tulisan: Buitens.
Saya menghabiskan siang hingga sore menikmati fettucine dan minuman enak di Buitens, yang secara cerdik menggabungkan desain interior kekinian dengan struktur bangunan gaya kekunoan.
Tiba waktunya untuk pulang, sebelum menua di sana. Saya menyelesaikan pembayaran menggunakan QRIS. Masih tersedia akumulasi saldo dari Kompasiana, K-rewads.Â
Restaurare!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H