Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Penyandang Disabilitas Naik KRL di Jam Padat

23 Oktober 2024   11:09 Diperbarui: 23 Oktober 2024   11:32 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menumpang Commuter Line Jabodetabek pada hari kerja merupakan satu tantangan tersendiri, terutama di jam sibuk.

Waktu padat penumpang pada pagi berkisar dari pukul 05.30 sampai 7.00 WIB. Sore, pukul 16.00-18.00 WIB. Pada puncak kepadatan, penumpang diperkirakan jumlah mencapai lebih dari 90 ribu orang (https://commuterline.id/informasi-publik).

Terinformasi, kapasitas gerbong kereta rel listrik (KRL) ukuran dua meter kali tiga meteran adalah 250 orang. Enam puluh duduk, sisanya berdiri.

Jumat (4/10/2024) saya berencana berangkat ke Cikini, Jakarta Pusat. Commuter Line Jabodetabek menjadi pilihan moda angkutan. Praktis, cepat, dan hemat. Kemudian berpusing tanya di kepala, masih sanggupkah saya dengan keadaan sekarang naik KRL pada hari kerja?

Pengetahuan dan pengalaman mengatakan, naik KRL Bogor-Jakarta pada hari biasa --terutama di jam-jam sibuk-- adalah rangkaian perjuangan. Mulai masuk gerbong, mencari tempat berdiri tepat supaya tidak "ditabrak" penumpang yang hendak keluar gerbong, hingga berebut pegangan (handgrip).

Waktu keadaan tubuh masih normal, beberapa kali saya menumpang KRL. Dari kereta zaman "terbelakang" hingga Commuter Line yang modern.

Ada saatnya berada di gerbong tanpa pendingin ruangan dengan pintu terbuka. Bareng karung-karung isi sandal/sepatu, keranjang buah jambu biji, pedagang asongan, peminta-minta, dan aroma tujuh rupa. Bayar ongkos boleh kepada oknum petugas di atas kereta berjalan.

Terima kasih dan hormat disampaikan kepada Ignasius Jonan, yang telah meletakkan dasar manajemen maju di PT KAI. Periode setelahnya adalah pelayanan bagus bagi pengguna KRL. Stasiun elok tertata rapi, pengelolaan tersistem, dan pelayanan bagus.

Namun, kepadatan penumpang masih terjadi pada waktu sibuk. Jumlah gerbong KRL tidak seimbang dengan banyaknya orang bergegas naik secara bersamaan.

Meskipun tidak sering mengalami karena tidak terikat dengan jam kantor, beberapa kali saya naik Commuter Line pada jam padat berhubung ada satu keperluan mendesak. Pengalaman mengerikan.

Ingatan tersebut membuat saya ragu menggunakan kendaraan panjang bertenaga listrik tersebut. Sedangkan pilihan logis pada Jumat itu adalah naik Commuter Line.

Berangkatnya bukan masalah besar, karena naik KRL dari Bogor ke Cikini pada jam tidak padat. Pukul sepuluhan pagi. Kepulangannya yang menyita pikiran.

Acara syukuran penganugerahan rekor MURI untuk "Kapak Algojo dan Perawan Vestal" -- dengan tajuk Novel Pertama sebagai Karya Kolektif dari Latar Belakang Profesi Penulis Terbanyak, di Senyawa Corner+ (Creator Space), Jl Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat -- akan berakhir pukul 16.30 WIB.

Sore pada hari kerja adalah waktu padat KRL dari Jakarta ke Bogor. Saya menata ulang rencana kepulangan dengan menggunakan KRL lebih malam. Jam berapa?

Di venue masih ada Kompasianer Efwe (Fery W atau Fery Widiatmoko) omon-omon dengan Ayah Tuah, Edwad Y Horas, Anis Hidayatie, Acek Rudy, saya, dan lainnya.

Kang Fery adalah penglaju yang setiap hari menggunakan Commmuter Line dari Cilebut ke Jakarta pulang pergi. Ia menyarankan berangkat setelah pelaksanaan salat Maghrib, pukul 18.30-19.00 WIB. Bukan naik dari stasiun terdekat, Cikini, melainkan dari perhentian sebelumnya kalau dari arah Jakarta, yaitu Gondangdia.

Kang Fery memperkirakan bahwa penumpang KRL di Stasiun Gondangdia belum sebanyak di stasiun Cikini. Untuk mencapainya, bisa naik angkutan umum Jaklingko satu kali dari lokasi semula.

Ayah Tuah (hendak mengunjungi keponakanya di Cilebut), kakak saya, dan saya tiba di stasiun Gondangdia. Pesan WA memberitahu Kang Fery bahwa kami ada di Pintu Selatan. Taklama, Efwe datang.

Nominee Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2024 itu benar-benar luar biasa. Selain sangat berpengalaman, ia pemandu handal yang mampu menempatkan posisi di tengah aliran deras ribuan pengejar kereta.

Kompasianer yang apik mengulas topik keuangan, investasi, ekonomi, dan situasi politik tersebut mendekati satu petugas di pintu masuk peron. Membicarakan sesuatu dan menyerahkan saya kepada petugas. Sementara itu, ia mengantar Ayah Tuah ke satu tempat untuk memeriksa saldo uang elektronik.

Saya makin mengagumi Efwe atau Fery W. Betapa ia melayani teman-temannya yang masih polos (polos nih ye ....) menaklukkan hiruk-pikuk Jakarta.

Muncul perasaan lebih kagum saat menempati tempat duduk prioritas warna merah, yang bernuansa beda dengan kursi lainnya. Pada bagian ujung gerbong itu serta dipayungi ketiak-ketiak memadati gerbong, saya tersenyum dan memvisualisasikan pelayanan para petugas KAI nan mencengangkan.

Usai "penyerah-terimaan" dan tap-in kartu, dengan sigap satu petugas mengawal saya menaiki eskalator. Di atas ia menyerahkan saya ke petugas berbeda, yang menanyakan tujuan akhir dan mengawal saya serta mengurai kerumunan para penunggu di peron.

Di wagon terakhir sebelum gerbong wanita, petugas ramah itu menyerahkan saya ke petugas di dalam kereta. Dengan adab baik ia memegang tangan saya dan menuntun ke bagian paling ujung. Meminta secara sopan agar seorang penumpang memberikan tempatnya untuk saya.

Pada malam sibuk itu tidak terbersit sedikit pun dalam pikiran akan mendapatkan tempat duduk. Ternyata tidak sulit bagi saya yang memiliki keterbatasan fisik berjalan di antara kerumunan, memasuki gerbong, dan mendapatkan tempat duduk prioritas (untuk ibu hamil, lansia, orangtua yang membawa bayi, dan penyandang disabilitas)

Saya cedera fisik lantaran enam tahun lalu terlambat penanganan medis, setelah terkena serangan stroke. Tubuh sebelah lemah, wajah tidak simetris (mencong), dan berbicara pelo/tidak jelas, tetapi tidak segera dibawa ke rumah sakit. 

Telat penanganan sehingga lumpuh. Jadilah mengalami keterbatasan fisik sampai sekarang.

Kembali ke peristiwa Jumat malam (4/10/2024).

Tidak hanya di gerbong KRL, tetapi sampai hari ini pengalaman tersebut masih membekas di dalam ingatan. Merasakan pelayanan luar biasa dari petugas Commuter Line Jabodetabek. Pegawai KAI telah berlaku ramah dan mengayomi penumpang yang memiliki keterbatasan fisik.

Kiranya saya tidak perlu khawatir lagi ketika akan menaiki Commuter Line, sekalipun di jam-jam padat. 

Sekarang lebih percaya diri berkat pengalaman mendapatkan pelayanan bagus dari para petugas, yang sayangnya saya tidak sempat melihat name tag atau menanyakan nama.

Terima kasih tak terhingga disampaikan kepada para petugas Commuter Line Jabodetabek, di stasiun Gondangdia dan gerbong KRL. 

Terima kasih juga diucapkan kepada manajemen PT KAI yang telah membentuk nilai kerja excellent services kepada para pegawainya.

Sabtu 2 November 2024 mendatang dengan percaya diri saya akan menaiki Commuter Line, dari stasiun Bogor ke stasiun Manggarai atau Dukuh Atas. Keberangkatan dilakukan dalam rangka menghadiri Kompasianival 2024 di Commune Space Chilax Sudirman, Jakarta.

Barangkali Kompasianer dari Sukabumi, Bogor, Cilebut, dan seterusnya mau bareng? O ya, jangan lupa daftar di www.kompasianival.com bila akan mengikuti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun