Tampak konstruksi kayu dengan rancangan sedemikian rupa. Bisa ditaruh di jok sepeda motor, juga bisa diletakkan secara sempurna pada permukaan datar.
Di atas lapak tergantung rencengan kopi saset dan minuman bubuk dalam kemasan, serta gelas plastik dan temos air panas. Di dekatnya terdapat kompor gas portabel dan galon kecil isi air mineral.
Pedagang itu, bernama Lukman, menggelar tikar di trotor untuk pembeli yang hendak bersantai di naungan pohon.
Pada hari Senin itu saya tidak melihat anaknya bikin pe-er. Tentu saja putranya sedang bersekolah.
Menurut Mas Lukman, putranya bernama Banyu (nama lengkapnya lupa). Duduk di kelas 1 SMP (sekarang disebut kelas tujuh) di Leuwiliang, satu daerah di Kabupaten Bogor yang berjarak 24 kilometer dari Kota Bogor.
Penjual kopi seduh itu mengaku memiliki 3 anak. Tertua di SMK tingkat terakhir dan sedang praktik keja lapangan (PKL). Banyu anak kedua. Sedangkan yang ketiga baru akan masuk TK.
Tadinya Mas Lukman berjualan kopi secara berkeliling menggunakan sepeda motor. Satu ketika ia beristirahat di Jalan Tentara Pelajar (dulu bernama Cimanggu Raya). Niatnya, berteduh dari terik matahari. Kemudian beberapa pengguna jalan berhenti untuk membeli kopi seduh.
Sejak itu ia berjualan di sana dari pagi hingga sore. Setelahnya, mangkal dekat kumpulan pengemudi ojol di stasiun Bogor.
Mas Lukman menjual rata-rata 20 gelas kopi di lapak tepi Jalan Tentara Pelajar. Di dekat stasiun, 15 gelas.
Harga jual kopi Rp4.000 per gelas. Menurut pengakuannya, modal kerja Rp2.000 per cup terdiri dari kopi saset, cup plastik, gas, air.
Keuntungan setengah harga jual, yaitu (Rp4.000 -- Rp2.000) X 35 = Rp70.000 sehari. Saya sedikit meragukan hitungan ini, karena ia belum memasukkan pembelian BBM motor, makan, dan lainnya