Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Cari Keuntungan dengan Memindahkan Barang, Semudah Itukah?

14 Oktober 2024   08:09 Diperbarui: 14 Oktober 2024   18:37 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memindahkan pepaya untuk mencari keuntungan (dokumen pribadi)

Iya! Dengan hanya memindahkan barang dari satu tempat ke lokasi potensial, maka keuntungan menari-nari di depan mata.

Sebaliknya. tidak mudah dalam pelaksanaannya. Lantaran sebelum dan selama proses pemindahan sangat mungkin kita menemui kerumitan-kerumitan. Barang tiba di lokasi dimaksud, belum tentu untung diperoleh akan utuh sampai rumah. Kadang tekor.

Artikel sebelum ini mengisahkan, Yusuf memindahkan pepaya matang dari gudang grosir ke lapak tepi Jalan Tentara Pelajar, Kota Bogor.

Untuk menebus barang, ia merogoh sejumlah uang. Dua kali balik mengangkutnya dengan sepeda motor matik lawas. Memilah berdasarkan ukuran dan menatanya. Terakhir, menunggu pelintas berhenti menawar barang dagangan.

Pembeli mungkin mengambil pepaya terkecil. Bisa jadi menawar mati-matian, mencari yang paling bagus dengan harga termurah. Pedagang mesti siap menghadapi beragam karakter konsumen.

Pepaya dijual Pak Yusuf bisa laku dalam tiga hari. Tak sempat busuk. Kadang dalam selang waktu itu tidak semuanya terjual. Bisa-bisa perolehan keuntungan berkurang.

Keuntungan kotor. Belum dipotong pemakaian BBM operasional, ngopi, beli nasi Padang harga paket 12 ribuan, dan sebagainya.

Hal-hal semacam itu dapat menjajah ruang pikir. Bisa jadi tidak. Tergantung orangnya, mau dibikin ruwet atau tidak?

"Ah, itu biasa dalam dagang. Ada saatnya untung, kadang buntung. Bersyukur aja," ujar Yusuf pedagang pepaya.

Memindahkan pepaya untuk mencari keuntungan (dokumen pribadi)
Memindahkan pepaya untuk mencari keuntungan (dokumen pribadi)

Soal serupa sempat saya alami dengan situasi berbeda.

Lebih dari dua dekade lalu sempat berdagang sementara masih bekerja kantoran. Saya memindahkan tas wanita dari Kota Bogor ke Jakarta Selatan dan mengambil keuntungan darinya.

Hampir setiap akhir pekan pulang ke Kota Hujan, setelah lima hari bekerja di Ibu Kota. Hari Sabtu atau Minggu saya mendatangi salah satu pengrajin kecil di Katulampa, Kota Bogor. Tidak datang ke tokonya, tetapi ke tempat tas dibuat.

Kepadanya saya sampaikan bahwa saya kulakan. Tas didagangkan kembali agar mendapatkan keuntungan.

Sebelumnya, saya sudah mengeker peluang berdagang tas di Jakarta. Bukan dengan buka toko, misalnya di Pasar Baru, melainkan menjual ke tetangga dan teman kantor.

Saya memperoleh harga grosir dan keleluasaan menukar model dalam seminggu. Boleh kembali barang, asalkan tukar model lain.

Maka pada Minggu malam saya ke Jakarta membawa beragam tas terbungkus plastik. Masing-masing sudah ada label harga. Awalnya sedikit, 10-15 tas. Belakangan, mereka memenuhi bagasi mobil van.

Pembelinya, ibu-ibu tetangga RT yang kemudian melebar ke lingkungan RW dan seterusnya. Sepenggal ruang tamu menjadi ruang pamer tas wanita.

Sebagian disusun di bagasi van dan dibawa ke kantor. Pada jam tertentu, pintu belakang terbuka ke atas menampilkan aneka tas. Pegawai di kantor saya dan kantor sebelah merubung sambil memilih.

Dalam proses penjualan ada saja suka dan dukanya. Suka, bila barang cepat laku. Sedih, jika beberapa tas dibawa kembali untuk ditukarkan ke pengrajin.

Belum lagi kalau ditawar habis-habisan oleh pembeli. Sesekali mengalah, saya memperhitungkan masih ada ruang untuk subsidi silang.

Singkat cerita, beragam reaksi yang dihadapi selama menjadi pedagang.

Namun, keuntungan berdagang tas dalam jumlah tertentu telah membayar BBM Kota Bogor -- Jakarta Selatan pulang pergi, biaya tol Jagorawi dan dalam kota, nasi Padang, dan lainnya.

Sebelumnya, saya sudah membagikan hal-hal terkait penentuan usaha (konsep, komoditas, pemilihan lokasi, dan lain-lain). Artikel ini membagikan pengalaman memindahkan barang dari satu tempat ke lokasi lain, dengan:

  • Memikirkan angkutan dalam pemindahan tersebut.
  • Memperkirakan selisih wajar antara harga beli dan jual, setelah dipotong ongkos-ongkos.
  • Melayani secara santun, meski bibir pembeli bagai pisau silet.
  • Menyediakan barang dengan kualitas cukup sesuai harga jual.
  • Menerima masukan dari konsumen tentang model, harga, dan lainnya.
  • Jangan malu berdagang.
  • Menemukan slah alias mengerti cara berdagang baik hanya dengan menekuninya. Bukan berteori.

Barangkali pakar bidang wirausaha lebih bagus menerangkan makna berdagang dengan teori-teori ilmiahnya.

Memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya, alias berdagang, merupakan salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan. Mendapatkan uang secara sah.

Tidak mudah, tetapi sangat mungkin. Sekali lagi, bagi yang mau bewiraswasta! Mau cari kerja kantoran saja, boleh-boleh saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun