Kompas edisi Rabu (8/10/2024) menurunkan berita, "Sahbirin Noor Disangka Terima Suap" setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Gubernur Kalimantan Selatan itu disangka menerima suap. Fee 5 persen dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Selatan.
KPK menerima informasi penyuapan pada Kamis (3/10), menyepakati penemuan bukti cukup atas tindak pidana penyelewengan pada Jumat (4/10), dan menangkap beberapa orang Minggu (6/10).
Enam orang yang kena OTT, terdiri dari empat ASN Pemprov Kalsel dan dua pihak swasta, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Negara Gedung KPK. Sedangkan Sahbirin Noor menjadi buronan.
Berita lengkapnya di "OTT KPK di Kalsel: Enam Orang Ditangkap, Lebih dari Rp 10 Miliar Disita" (kompas.id), dan "Kronologi OTT Dugaan Korupsi Proyek Pembangunan di Kalimantan Selatan" (kompas.com).
Penangkapan itu merupakan satu dari ribuan perkara penyalahgunaan jabatan Kepala Daerah, yang mereka lakukan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Lebih dari 1.000 kasus serupa ditangani KPK selama 2004-2021 (sumber), yaitu:
- Penyuapan 802 perkara.
- Penyelewengan di pengadaan barang dan jasa 263 perkara.
- Penyalahgunaan anggaran 42 perkara.
- Pungutan dan pemerasan 26 perkara.
- Penyalahgunaan kekuasaan pada perizinan 25 perkara.
- Perintangan proses KPK 11 perkara.
Sepertinya, sebagian kepala daerah tidak kapok melakukannya, kendati ribuan kasus penyelewengan jabatan diungkap oleh penegak hukum.
Menurut pihak KPK, pemimpin daerah melakukan penyimpangan kewenangan publik untuk kepentingan sendiri, kelompok, tim sukses, maupun (setoran untuk) partai politik.
Kecenderungan sikap mereka dalam pengadaan barang dan jasa bukan berhubungan dengan kualitas diperoleh, melainkan kickback (imbal balik) berupa sejumlah fee.
Harapan besar saya, dalam periode berikutnya tidak ada lagi kepala daerah berorientasi kickback dari pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tidak terdengar lagi adanya perilaku penyalahgunaan jabatan demi kepentingan pribadi ataupun lingkaran penyokongnya.
***
Pilkada serentak diselenggarakan di 545 daerah di Indonesia, pada 27 November 2024 mendatang. Sebanyak 1.533 pasangan calon kepala daerah akan mengadu nasib dalam gelaran tersebut (sumber).
Saya penasaran dan bertanya ke Google, kira-kira apa ya motivasi mereka berebut kursi kepala daerah?
Memetik dari "Motivasi dan Kompensasi menjadi Kepala Daerah" punya Kontras, kursi kepala daerah sangat menggiurkan bagai magnet yang amat kuat.
Selanjutnya mereka mengatakan, ada tiga dorogan dalam diri seseorang untuk memperebutkan kursi kepala daerah:
- Pengabdian demi membangun dan menyejahterakan rakyat setempat. Terdengar idealis dan normatif, tetapi mungkin saja ada yang mengusung gagasan ini.
- Meninggikan martabat pribadi dan keluarga. Bukankah posisi pejabat publik lebih tinggi dibanding rakyat kebanyakan?
- Memperoleh perlakuan istiwewa sebagai petinggi dan penghasilan layak (gaji, tunjangan, fasilitas pendukung pelaksanaan tugas, biaya penunjang operasional, insentif pencapaian pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah, honor).
Mudah-mudah sebagian atau tiga motivasi di atas yang mendorong para kontestan mengikuti gelaran Pilkada 2024. Bukan mereka yang termotivasi untuk mencari keuntungan materi, berupa kickback dari pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Semoga para pemenang menunjukkan watak lebih melayani warga, mampu melahirkan kebijakan yang berpihak kepada kemajuan daerahnya, dan tidak suka menjual jabatan demi keuntungan pribadi pun kelompoknya.
Saya menanti, kelak bermunculan Kepala Daerah sebagai pelayan warga. Bukan pejabat yang mencari keuntungan melalui penyalahgunaan wewenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H