Pada suatu hari ....Â
Ah, janganlah pakai frasa semacam ini! Bukan untukku yang sudah memasuki usia remaja, tak lagi SD, membuka karangan dengan "pada suatu hari".
Aku ulangi, ya.
Ketika langit membuka paha lebar-lebar, matahari menerobos sebuah lubang tak berawan dan menggagahi permukaan bumi dengan sinar membakar. Maka, pecahan bata ringan di bawah Flamboyan cukuplah menjadi muara menghapus keringat dan penat.
Pandangan menyapu keadaan. Pemuda pemudi sepantaran dan berbaju putih abu-abu bercengkerama gembira. Sebagian memantul-mantulkan bola karet pada lantai semen, sesekali melempar ke lingkaran besi dikelilingi tali putih berpilin-pilin.
Sungguh, mereka mampu mempertahankan kegembiraan di bawah terik.
Aku mencabut selembar kertas yang kehilangan cahayanya, untuk menemani sepi di antara keramaian. Kata-kata muram berlompatan. Membetot perhatian agar aku membaca lebih bersungguh-sungguh.
Butet Kartaredjasa, aku pernah mendengarnya, menuliskan sesuatu yang sangat menarik. Kemudian, kepala berdenyut-denyut berusaha keras memahami kata-kata tersurat.
Menurut alam pikirku, begini kira-kira makna tersiratnya.)*
Katanya, aktor itu bertingkah laku sedemikian rupa demi mengecoh orang. Menipu penontonnya. Kadang, saking hebatnya menyihir sehingga penonton kecanduan. Ingin dan selalu ingin melihat lagi pementasan-pementasan berikutnya.