Bahan mereka sepertinya serupa dengan meja, kursi, dan lemari di rumah kakek nenekku.
Indra penciuman menyentuh bebauan. Butuh waktu agar ingatan dapat menerjemahkannya. Bau khas. Mungkin senyawa kimia. Barangkali bau perekat kertas dan tinta. Hidung juga menangkap bau usang yang menua.
Tak cukup waktu bagiku untuk mengenali mereka, karena aku harus mengikuti langkah kamu penuh percaya diri menuju lemari tak berpintu.Â
Di antara penyanggahnya terdapat papan-papan yang diletakkan mendatar, bersusun-susun dari bawah ke atas. Pada tiap-tiap kepingan melintang itu tersusun rapi dan berjejer lembar-lembar kertas yang berjilid.
Masing-masing diikat menjadi satu kesatuan menggunakan kertas yang lebih tebal dibanding lembaran di dalamnya. Pada satu sisi paling sempit dari sampul tercetak untaian huruf yang menyatakan judul. Melalui pembacaan pada mereka, maka kamu mengambil salah satu dan mengapitnya dengan dua tangan lentikmu di dada.
"Jangan cuma mengekor, pilih yang engkau minati. Ditunggu di sana," runcing dagu yang memperlihatkan kelembutan wajahmu mengarah pada meja di sebuah sudut dekat jendela.
Aku sendirian. Celingak-celinguk mengamati apa yang akan aku pilih. Sebetulnya, di ujung atas jalan kecil di antara rak tergantung tulisan yang menunjukkan penggolongan. Tidak sulit memilih, tetapi aku tidak punya rencana untuk memilih salah satu sebagaimana yang kamu lakukan tadi.
Aku mengamati, mengambil "Tangkaplah Daku Kau Kujitak" yang aku mengerti telah menjadi perbincangan di antara teman-teman, lalu menuju meja di mana kamu tenggelam dalam duniamu.
Mengikuti caramu, aku membolak-balik halaman. Kamu masih asyik membaca, sesekali menuliskan kalimat pada sebuah catatan, dan memperlakukanku bagai patung 'Selamat Datang' Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Apes tenan. Baiklah. Kembali ke halaman pertama, aku mulai menerka kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Tanpa terasa aku memasuki dunia petualangan. Aku sesekali tersenyum. Kadang tertawa.
"Suka membaca Hilman?" suara lembutmu membubarkan pengembaraan di dalam kepala.