Katanya, dua kali perbaikan ditambah sedikit uang sudah bisa membeli satu perangkat baru, Rp1.200.000 (RAM 4GB) hingga Rp1.900.000 (RAM 8GB). Harga bervariasi, tergantung besar komponen memori untuk pemrosesan data (Random Access Memory/RAM) dan ruang penyimpanan.
Gantian kepala saya nge-frezee atau nge-hang, mengingat belakangan muncul pengeluaran dalam waktu beruntun. Sekarang, mesti ganti telepon pintar baru pula.
Baiklah. Setelah berbincang dengan pemilik konter penjualan dan service HP, saya berpamitan.
Di depan gedung perbelanjaan saya menimbang-nimbang: naik angkot, BisKita, atau ojol? Eh iya, telepon pintar "matot" sehingga tidak bisa pesan ojek daring.
Saya memutuskan untuk berjalan kaki, sambil mempraktikkan gaya silent walking yang diulas di kompas.com "Jadi Tren di TikTok, Apa Itu Silent Walking?", Kompasiana "Mindfulness Di Setiap Langkah: Panduan Lengkap Silent Walking", dan lainnya.
Trotoar lebar dan teduh di tepi Jalan Juanda, Kota Bogor, tak juga meredakan perdebatan di dalam kepala. Ditambah, penyesalan yang menambah ruwet. Mumet.
Sampai di ujung Pasar Anyar, saya berhenti di lapak penjualan kelapa muda untuk beristirahat dan mendinginkan tubuh berkeringat. Air kelapa membasahi kerongkongan. Segar, meski tanpa es. Manis, kendati tak ditambah sirop.
Sembari menyendok daging kelapa muda saya menatap satu lapak kopi di sebelah, yang hanya dibatasi oleh angin.
Pada satu bidang dinding ruangan tempat tidur penjual terdapat tulisan yang menghantam kesadaran saya. Tidak mungkin memotretnya, berhubung telepon genggam sudah tewas, tetapi menuliskannya pada secarik kertas kecil.
Tulisan putih pada dinding cokelat sebuah warung kopi itu berbunyi: Seduh Kopimu, Sudahi Sedihmu.
Coretan rapi yang mengingatkan, harusnya saat itu saya segera menyudahi kesedihan. Berhenti meratapi musibah atas "tewasnya" telepon genggam yang bikin puyeng. Memikirkan biaya untuk menebus penggantinya.