Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka Tak Bekerja, tapi Dapat Uang dengan Mudah

17 September 2024   17:07 Diperbarui: 17 September 2024   18:38 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah preman memalak para pedagang pasar tumpah Jalan Merdeka, Kota Bogor, Rp80.000 hingga Rp100.000. Orang-orang yang mengaku anggota organisasi masyarakat (ormas) itu juga menjual paksa air mineral melampaui harga pasaran (kompas.com).

Pasar Merdeka adalah alih bentuk tak sengaja, dari terminal yang gagal berfungsi sebagai perhentian angkot menjadi pasar tumpah.

Bangunan utamanya disebut Pasar Kebon Jahe, sebuah tempat jual beli onderdil bekas dan burung berikut pakannya.

Di sebagian tempat kemudian berkembang  menjadi pasar penampungan buah pisang, terbanyak berasal dari perkebunan di Lampung. Bermunculan pula pedagang sayur, ikan, buah, umbi-umbian, tempe tahu, dan sebagainya. Ruko-ruko diisi pedagang sembako.

Kini, eks terminal Merdeka dan sekeliling Pasar Kebonjahe menjadi pasar tumpah yang ramai penjual dan pembeli.

Ia merupakan tempat kulakan bagi tukang sayur keliling, dan pemilik warung. Juga pembeli yang mencari harga murah. Harga-harga cenderung lebih rendah dibanding di Pasar Anyar, yang berjarak satu kilometer darinya.

Saya beberapa kali olahraga jalan kaki ke pasar Merdeka, sambil berbelanja sayur sistem paket. Rp5.000 untuk tiga bungkus/ikat sayur kemasan kecil. Rp10.000 dapat tujuh bungkus/ikat.

Dengan posisinya sebagai tempat kulakan sekaligus perdagangan eceran harga murah, pasar Merdeka selalu ramai pembeli.

Keramaian yang kemudian menarik perhatian orang-orang untuk mencari uang dengan cara gampang. Bukan dengan berjualan, melainkan menebarkan "teror" demi mendapatkan uang dari para pedagang.

Gertakan tidak dengan senjata, tetapi dengan mengatas namakan ormas tertentu. Seragam dikenakan membuat orang enggan berurusan dengan mereka.

Ditambah, kata-kata bernada ancaman --halus tapi menakut-nakuti. Dalihnya, untuk biaya "koordinasi" dan pengamanan. Para pedagang lugu lebih suka memberikan uang atau membeli air mineral dengan harga mahal, daripada kelak "diacak-acak" menjadi urusan panjang.

Dengan gaya preman, mengaku-ngaku (berseragam) ormas, dan menebarkan "ketakutan", mereka memalak para pedagang.

Pedagang kecil terpaksa membayar uang diminta preman mengaku anggota ormas, karena tidak mau dipusingkan dengan urusan panjang apabila menentang. Mereka ingin berdagang dengan tenang tanpa gangguan.

Saya menduga, gangguan preman-preman berbaju ormas ini menggejala di pasar tradisional lainnya.

Juga di tempat keramaian terbuka seperti alun-alun Kota Bogor. Selentingan, terdapat sejumlah preman yang mengutip uang kepada pedagang kaki lima penjual makanan dan minuman.

Mengesampingkan pedagang tumpah dan pedagang kaki lima yang berizin atau tidak, perilaku premanisme berpotensi menyebabkan keresahan lingkungan. Malahan, satu ketika bisa timbul kericuhan manakala "pendaringan" pedagang terganggu.

Modus preman seperti ini juga lazim terjadi di proyek milik pemerintah. Beberapa waktu lalu saya sempat menjadi rekanan sebuah Pemerintah Kabupaten. 

Dalam penyelesaian pekerjaan, sering kali kontraktor pelaksana berhadapan dengan preman-preman mengaku anggota ormas. Mereka menghampiri proyek baru dimulai. Datang banyak-banyak, berseragam, dan memancing-mancing kericuhan. 

Ujung-ujungnya, minta duit dengan jumlah yang mereka tentukan. Bila kontraktor pelaksana ketakutan, mereka akan memalak hingga satu persen dari nilai proyek.

Jadi, tidak boleh kalah gertak agar tidak kena "getok". Pelaksana mesti pandai berdiplomasi, berlaku lebih galak, dan tegas menetapkan batas nilai dana akan diberikan agar tidak berdarah-darah. Bagaimanapun, mau tidak mau kontraktor harus mengeluarkan uang tak terduga sebagai biaya "koordinasi".

Minta bantuan kepada aparat berwenang? 

Tidaklah yauw! Bisa-bisa keadaan menjadi begini: bebas dari pemerasan ormas, berganti dengan pengeluaran uang tidak sedikit kepada aparat.

Pengalaman saya, kontraktor pelaksana proyek Pemkab masih mampu mengatasi preman mengaku-aku anggota ormas. Bagaimana dengan pedagang kecil di pasar Merdeka?

Pemerintah Kota Bogor dan pihak terkait hendaknya menertibkan pemalak dan pelaku pungli pedagang kecil, baik di pasar tradisional maupun tempat keramaian terbuka.

Ciptakan rasa aman bagi para pedang kecil yang, saya kira, memperoleh laba tidak seberapa.

Amatlah penting membina atau, kalau perlu, membinasakan preman berperilaku memalak yang meresahkan para pedagang pasar dan kaki lima.

Bebaskan para pedagang kecil dari preman yang tidak mau bekerja, tetapi ingin mendapatkan uang secara mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun