Waktu masih menjadi warga Kota Malang, terdapat beberapa jajanan favorit saya dalam radius sekitar satu kilometer dari tempat tinggal keluarga.
Di samping SMP Negeri 5 Kota Malang, tepatnya di tepi Jalan Bengawan Solo (sekarang, Jl. Tumenggung Suryo), kalau malam ada warung tenda penjual mi rebus.
Uap membubung dari dandang menggoda selera. Mi lembut meluncur mulus saat diseruput. Kuahnya, amboi sedap nian. Sampai hari ini saya belum menemukan mi dengan aroma dan rasa serupa.
Tidak jauh darinya, tampak penjual tahu campur di bawah tenda sederhana. Meja kursi mengelilingi pikulan berisi periuk kuah dan bahan-bahan tahu campur. Jajanan ini bukan seperti kupat tahu, melainkan sejenis makanan berkuah.
Isinya terdiri petis udang, daun selada segar, taoge, potongan lontong, mi kuning, irisan perkedel singkong, dan tentu saja tahu goreng, Ke atasnya disiramkan kaldu panas dan tetelan daging sapi. Ditambahkan kerupuk dan sambal.
Hidangan sedap nan hangat ini habis dalam sekejap pada dinginnya udara malam Kota Malang. Tidak jarang saya bisa menghabiskan dua piring tahu campur.
Bakso Malang? Jangan tanya. Sulit mencari tandingan kelezatan bakso Malang asli. Satu tempat langganan keluarga terletak hampir 2,5 km dari rumah, yaitu di Stasiun Malang Kota. Waktu itu bakso presiden agaknya belum tenar seperti sekarang.
Pentol bakso di gerai yang berada di stasiun bagian luar itu terasa daging banget. Kuah beningnya sangat kaldu. Saus tomatnya bukan botolan. Sepertinya, buatan sendiri dengan bahan buah tomat asli.
Bakso yang benar-benar bakso. Enak tiada lawan. Bakso Malang yang dijual di sini tidak dapat menandinginya. Jauh!Â
Menurut hemat saya, bakso dengan rasa setara adalah yang dijual di food court Bandara Soekarno-Hatta.