Adanya proyek pembuatan trotoar telah membawa berkah, sekaligus mendatangkan musibah bagi Pak Yana, penjual kopi seduh.
Terinformasi dari laman LPSE Kota Bogor, telah dilakukan lelang paket pekerjaan "Perbaikan Trotoar Jl. Tentara Pelajar (lanjutan)" dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp1.171.703.978,71. Pemenang tender menawar Rp1.142.716.265,86 (turun 2,5 persen dari HPS).
Ruang lingkup kegiatan proyek, antara lain, meliputi:
- Pekerjaan Umum;
- Pekerjaan Drainase;
- Pekerjaan Tanah;
- Pekerjaan Perkerasan Berbutir dan Perkerasan Beton Semen;
- Pekerjaan Struktur; Pekerjaan Minor, dan lain-lain.;
- Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaannya;
- Membuat laporan pelaksanaan pekerjaan.
Kira-kira sebulan lalu, proyek di seberang penjual kopi seduh tersebut dimulai setelah ada sedikit kericuhan antar grup tukang (cerita lengkap di: Berharap Kemakmuran Merata Ibarat Menunggu Hujan Berkelir).
Menurut Pak Yana, ada dua grup tukang yang melibatkan 15 sampai 20 tukang dalam pelaksanaanya.
Dengan kehadiran para pekerja proyek, maka pemasukan penjual kopi tepi jalan itu meningkat lebih dari dua kali lipat. Biasanya, paling banter ia menghabiskan dua termos isi air panas dalam sehari. Bertambahnya pembeli, meningkat pula kebutuhan air panas hingga empat termos.
Jika satu tabung penyimpan air panas cukup untuk menyeduh 14 gelas plastik kopi/susu seduh, maka 4 x 14 gelas minuman terjual dalam satu hari. Dikalikan harga rata-rata per gelas Rp4.000, dalam satu hari Pak Yana memperoleh pemasukan Rp224.000.
Saya, yang sedang menyeruput kopi hitam tanpa diaduk, merasa gembira mendengarnya. Omzet tersebut adalah sesuatu banget bagi pengusaha skala mikro seperti Pak Yana.
Tak lama, lima orang pekerja menghampiri. Memesan sesuai selera masing-masing. Mereka minta agar kopi seduh diantar ke proyek. Pak Yana menyeduh lima gelas plastik kopi pesanan.
Satu tukang berkata, "Catet dulu, ya!"
Kembali dari kegiatan pengantaran, penjual kopi tepi jalan itu mencatat pada sebuah buku. Ia menuliskan nama-nama belum membayar dan angka-angka belum dibayar, piutang. Hari itu tercatat 28 gelas kopi seduh belum bayar.
Mereka berutang, barangkali sebab saat itu tidak memiliki cukup uang. Penyelesaiannya, setelah pembayaran upah dari pemborong pada tiap hari Selasa.
Seturut pengalaman, sebagian kontraktor punya kebiasaan tak tertulis, yakni menghindari hari ketiga dalam satu minggu itu untuk membayar upah tukang. Juga tidak memulai pekerjaan atau proyek pada hari Selasa.
Waktu masih aktif berurusan dengan proyek, saya membayar upah kepada grup tukang pada tiap hari Sabtu. Atau bila pekerjaan selesai, membayar upah bukan di hari Selasa. Ah, mungkin mereka memiliki cara berbeda!
Kembali ke kisah Pak Yana. Dengan penundaan pembayaran kopi, pedagang kecil itu memiliki piutang harian sebesar 28 x Rp4.000 = Rp112.000 kepada para pekerja.
Anggap modal kopi, air, dan gelas senilai setengahnya, maka kapital terkikis dalam sehari adalah Rp56.000. Berapa uang diperlukan untuk menutupnya selama tujuh hari?
Satu grup tukang cukup tertib menyelesaikan utang pembayaran kopi ke Pak Yana. Usai mendapatkan upah, mereka menyelesaikannya pada hari itu juga.
Sebaliknya, kelompok lain membayar dengan "ntar-sok-ntar-sok" atau melunasi sebagian utangnya. Bahkan, beberapa orang menghilang lantaran tidak dipekerjakan lagi, tidak bertanggung jawab meninggalkan kewajiban ke Pak Yana begitu saja.
Menurut Pak Yana, jumlahnya mencapai 50 gelas kopi. Ia kehilangan omzet Rp200.000, yang setara dengan Rp100.000 modal dikeluarkan. Itu jumlah uang yang sangat besar bagi pedagang kecil seperti Pak Yana.
Kenapa tidak menagih ke mandor, pelaksana lapangan, atau --kalau perlu-- ke pemborong?
Pak Yana mengikhlaskannya. Ia tidak menganggapnya sebagai kehilangan, meyakini bahwa rezeki sudah diatur. Lanjutnya, barang utangan diminum telah masuk ke tubuh dan mengalir dalam darah mereka. Itu tidak baik. Bisa jadi ada konsekuensi, entah apa.
Bagusnya, anak yang tinggal bersamanya dan sudah bekerja memerhatikan bahwa barang modal makin sedikit. Tanpa diminta mereka membeli rencengen kopi saset untuk menambah persediaan. Pria lansia itu bersyukur atas inisiatif putra putrinya.
Proyek dengan belasan atau lebih pekerja merupakan pasar potensial bagi penjual kopi seduh. Angka penjualan cenderung bertambah. Begitu yang seharusnya. Namun, kenyataan bercerita berbeda.
Tidak semua uang penjualan dibayarkan dalam waktu segera. Malahan, sebagian menjadi piutang tak tertagih karena pembeli menghilang.
Penjualan bertambah, tetapi piutang tak tertagih juga bertumbuh. Piutang tidak terbayar sebab karakter tidak elok sebagian pembeli. Mereka berjanji melunasi, tetapi ucapan kesanggupan tidak ditepati. Malahan, kabur tak tentu rimbanya.
Bila membeli sesuatu di pedagang kecil, sebaiknya menyelesaikan pembayaran sesegera mungkin agar tidak mengikis modal mereka lama-lama. Kalaupun bayar secara tempo, segera lunasi begitu mendapatkan uang.
Bayangkan, andai tidak ada bantuan financial, usaha sekecil itu bakal bangkrut karena diutangi Rp200.000. Jumlah uang itu seujung kuku bagi mereka yang enteng jajan roti Rp400.000 sekali santap.
Jangan sampai berlaku amsal: Hiroshima hancur karena bom, warung hancur karena bon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H