Kenapa tidak menagih ke mandor, pelaksana lapangan, atau --kalau perlu-- ke pemborong?
Pak Yana mengikhlaskannya. Ia tidak menganggapnya sebagai kehilangan, meyakini bahwa rezeki sudah diatur. Lanjutnya, barang utangan diminum telah masuk ke tubuh dan mengalir dalam darah mereka. Itu tidak baik. Bisa jadi ada konsekuensi, entah apa.
Bagusnya, anak yang tinggal bersamanya dan sudah bekerja memerhatikan bahwa barang modal makin sedikit. Tanpa diminta mereka membeli rencengen kopi saset untuk menambah persediaan. Pria lansia itu bersyukur atas inisiatif putra putrinya.
Proyek dengan belasan atau lebih pekerja merupakan pasar potensial bagi penjual kopi seduh. Angka penjualan cenderung bertambah. Begitu yang seharusnya. Namun, kenyataan bercerita berbeda.
Tidak semua uang penjualan dibayarkan dalam waktu segera. Malahan, sebagian menjadi piutang tak tertagih karena pembeli menghilang.
Penjualan bertambah, tetapi piutang tak tertagih juga bertumbuh. Piutang tidak terbayar sebab karakter tidak elok sebagian pembeli. Mereka berjanji melunasi, tetapi ucapan kesanggupan tidak ditepati. Malahan, kabur tak tentu rimbanya.
Bila membeli sesuatu di pedagang kecil, sebaiknya menyelesaikan pembayaran sesegera mungkin agar tidak mengikis modal mereka lama-lama. Kalaupun bayar secara tempo, segera lunasi begitu mendapatkan uang.
Bayangkan, andai tidak ada bantuan financial, usaha sekecil itu bakal bangkrut karena diutangi Rp200.000. Jumlah uang itu seujung kuku bagi mereka yang enteng jajan roti Rp400.000 sekali santap.
Jangan sampai berlaku amsal: Hiroshima hancur karena bom, warung hancur karena bon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H