Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Penjualan Bertambah, tapi Piutang Tak Tertagih Bertumbuh

12 September 2024   06:08 Diperbarui: 12 September 2024   08:05 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku catatan piutang. (Dokumentasi Pribadi)

Kenapa tidak menagih ke mandor, pelaksana lapangan, atau --kalau perlu-- ke pemborong?

Pak Yana mengikhlaskannya. Ia tidak menganggapnya sebagai kehilangan, meyakini bahwa rezeki sudah diatur. Lanjutnya, barang utangan diminum telah masuk ke tubuh dan mengalir dalam darah mereka. Itu tidak baik. Bisa jadi ada konsekuensi, entah apa.

Bagusnya, anak yang tinggal bersamanya dan sudah bekerja memerhatikan bahwa barang modal makin sedikit. Tanpa diminta mereka membeli rencengen kopi saset untuk menambah persediaan. Pria lansia itu bersyukur atas inisiatif putra putrinya.

Proyek dengan belasan atau lebih pekerja merupakan pasar potensial bagi penjual kopi seduh. Angka penjualan cenderung bertambah. Begitu yang seharusnya. Namun, kenyataan bercerita berbeda.

Tidak semua uang penjualan dibayarkan dalam waktu segera. Malahan, sebagian menjadi piutang tak tertagih karena pembeli menghilang.

Penjualan bertambah, tetapi piutang tak tertagih juga bertumbuh. Piutang tidak terbayar sebab karakter tidak elok sebagian pembeli. Mereka berjanji melunasi, tetapi ucapan kesanggupan tidak ditepati. Malahan, kabur tak tentu rimbanya.

Bila membeli sesuatu di pedagang kecil, sebaiknya menyelesaikan pembayaran sesegera mungkin agar tidak mengikis modal mereka lama-lama. Kalaupun bayar secara tempo, segera lunasi begitu mendapatkan uang.

Bayangkan, andai tidak ada bantuan financial, usaha sekecil itu bakal bangkrut karena diutangi Rp200.000. Jumlah uang itu seujung kuku bagi mereka yang enteng jajan roti Rp400.000 sekali santap.

Jangan sampai berlaku amsal: Hiroshima hancur karena bom, warung hancur karena bon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun