Penjual kopi seduh pontang-panting ke pedagang di sekitar demi mendapat recehan. Sebelumnya, seorang pekerja proyek pembangunan trotoar menyerahkan Rp50.000,00 sebagai pembayaran 5 gelas plastik kopi seduh.
Sepagi itu penjual kopi tepi jalan belum punya uang receh untuk kembalian. Maka ia berlarian ke sana ke mari. Beruntung, penjual bendera dan umbul-umbul di seberang memiliki uang penukar.
Di tempat berbeda. Seorang pemilik meninggalkan warung sederhananya. Menitipkan pesan ke para pelanggan yang sedang menatap gawai, ia pergi sebentar ke toko kelontong.
Satu pembeli baru datang. Berhubung sudah langganan, ia self service. Sendiri menyeduh kopi. Pembeli lainnya menunggu pemilik warung kembali. Ia ingin makan, tetapi enggan melayani diri sendiri dengan mengambil nasi dan lauknya.
Pemilik warung membeli setengah kilogram telur sekalian memecah selembar-lembarnya uang pecahan besar hasil berjualan. Empat atau lima keping logaman tidak bakal cukup sebagai kembalian.
***
Bagi sebagian pedagang kecil, yang belum bisa menerima pembayaran secara digital dan dengan kartu debit/kredit, uang kembalian memiliki peran menentukan.
Uang kembalian adalah selisih lebih, antara uang diberikan pembeli kepada penjual atas nilai barang/jasa diperoleh. Disebut juga sebagai uang receh, yang bernilai di bawah Rp100.000 dan Rp50.000.
Penjual wajib menggunakan rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut. Uang kembalian ditukar dengan permen dapat diancam dengan hukuman pidana dan denda (sumber).
Bisa jadi pedagang kopi seduh dan pemilik warung sederhana tidak mendalami konsekuensi hukumnya, tetapi mereka memahami bahwa uang receh penting dalam pelayanan pelanggan.