Isi artikel Kompasianer Sirpa, "Kursi Adirondack, Kalau Sudah Duduk Lupa Berdiri", di Kompasiana tanggal 29 Agustus 2024, telah melontarkan ingatan pada satu sejarah kenyamanan.
Sebentar. Sebentar. Sebelum menyentuh peristiwa yang sungguh terjadi pada masa lampau, ada baiknya mengupas sekilas isi tulisan Daeng Sirpa.
Pria kelahiran Kota Anging Mammiri, yang sekarang bermukim di Kali Pornia (begitu menurut keterangan di akun beliau), mengisahkan bangku Adirondack.
Kursi kayu tersebut dirancang demikian ergonomis, sehingga membuat betah siapa pun yang duduk di atasnya. Menjamin penggunanya, dengan rasa nyaman dan aman tidak gampang terguling selama bersantai sambil mengunyah pisang goreng.
Mengenai seluk-beluk lebih lanjut tentang kursi membetahkan, comot artikel di atas. Mumpung masih anget.
Di tempat tinggal saya sempat ada kursi Adirondack. Bukan terbuat dari kayu. Kerangka pembentuk badan kursi terbuat dari rotan. Alas duduknya dari papan jati, yang belakangan dilapis lagi dengan bantal busa.
Alkisah dulu kursi rotan itu dimiliki oleh seorang pembesar Angkatan Darat --beliau sudah tiada-- di zaman Soeharto. Kemudian diserahkan kepada seorang pejabat pengelola keuangan TNI-AD. Akhirnya, kursi nyaman itu menghuni ruang keluarga.
Ada satu set, terdiri dari kursi panjang (sekarang disebut sofa), dua kursi tunggal, meja kotak, dan meja bundar kecil. Berhubung meja kecil mudah terguling, maka ia digunakan sebagai tempat meletakkan hiasan kecil.
Duduk di kursi tunggal terasa nyaman. Badan seolah tenggelam dipeluk sempurna oleh sandaran dan duduk sentosa pada alasnya. Sedangkan kursi panjang kerap saya gunakan untuk tidur ayam sampai lelap betulan. Ia juga lapang untuk duduk dua tiga orang.
Pergerakan waktu jualah yang membuat mereka usang. Pengikat rotan mulai retas, meski batang utamanya masih kokoh.
Disamping itu, keberadaan mereka mengambil bidang lumayan luas. Maka ruang tampak sempit, menyebabkan pergerakan orang sedikit terganggu. Terasa "membebani" karena memang bobot mereka cukup berat.
Penggantian dengan furnitur lebih praktis dan ringan membawa himpunan kursi rotan ke gudang. Di sana mereka teronggok, berdebu, dan kian rusak. Hingga satu ketika ada pembersihan gudang.
Barang-barang yang dapat digunakan kembali, dibersihkan dan ditumpuk rapi. Sedangkan peranti yang tidak dapat diselamatkan, ya mohon maaf, terpaksa diangkut truk puing.
Termasuk yang dimuat adalah kursi rotan. Badannya besar memenuhi ruang penyimpanan. Juga sudah rusak.
Bagaimanapun, kursi rotan yang dirancang dengan menggunakan model Adirondack itu sempat menghadirkan rasa nyaman, aman tidak gampang terguling, dan membebaskan dari ketegangan. Sebuah kenangan yang tidak mudah terhapus begitu saja.
Kursi tersebut dirancang sedemikian rupa agar membuat penggunanya betah duduk berlama-lama.
Ssst... jangan bilang-bilang mengenai bangku Adirondack, kepada yang sedang berebut kursi panas kepala daerah. Ntar blaen! ("blaen" istilah di Jawa Timur untuk "berabe"). Bila memilikinya, bisa-bisa mereka betah, tak mau turun-turun, dan ingin duduk berlama-lama bersama keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H