Ada beberapa teman yang berperilaku seperti itu. Saya lumayan lama berada di lingkungan demikian. Nasihat meluncur dari mulut saya demi mengurangi ketimpangan. Namun, karakter teman berperilaku tone deaf tidak mudah diubah.
Paling banter, sesekali saya mengajak anak buah yang terabaikan untuk makan malam, misalnya. Atau memberinya sedikit rezeki atau mempekerjakannya, bila saya pas memperoleh proyek bagus.
Meskipun selingkungan dengan teman tone deaf dan itu sesekali membuat suasana canggung, tidak banyak hal yang bisa saya perbuat untuk mengubah keadaan.
Saya berkata kepada diri sendiri, hindari berperilaku tone deaf. Jangan sampai tidak peka dengan perasaan dan kesulitan orang sekitar.
Lebih baik memiliki timbang rasa, seperti dicontohkan pada kejadian ini.
Seseorang memasuki warung kopi. Mengenakan jaket layanan ojol yang kusam terbakar matahari. Bercelana jins sobek pada kedua lututnya. Kepada pemilik warung pria itu berkata pelan bahwa sampai pagi ini belum ada order. Ia ingin beli kopi seduh, bayarnya nanti.
Satu pengunjung lain yang menyantap nasi, telur dadar, dan tumis sayur mungkin mendengarnya. Usai makan, ia membayar sajian sekaligus kopi pengendara ojol yang telah pergi menjemput pengguna jasa.
Sederhana. Cuma empat ribu rupiah untuk segelas kopi, tetapi tanggapannya terhadap kesulitan orang lain patut dipuji.
Jadi, daripada membincangkan lalu mengindahkan teman tone deaf, lebih baik diri ini belajar dari mereka yang memiliki empati. Ngapain juga ngurusin orang yang tidak peka dengan lingkungan sekitar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H